Kamis, 15 Desember 2016

Cerpen Remaja: Yang Tak Pernah Kumiliki

Yang Tak Pernah Kumiliki
Oleh : De Shandy

Aku tak tahu, entah kenapa gadis yang bernama Ellen itu mau bersahabat denganku yang hanya seorang perempuan sederhana. Padahal Ellen itu adalah anak dari orang yang sangat kaya raya di kotaku. Juga orangnya yang sangat pintar dan wajahnya yang begitu cantik, pantas saja kalau di sekolah ia dijuluki sebagai kembangnya kampus. Maka, wajar kalau banyak laki-laki yang mengejar-ngejarnya, karena selain cantik Ellen juga orangnya yang cukup ramah.
Aku merasa bangga dan bahagia dapat bersahabat dengannya, karena Ellen itu juga orangnya yang sangat baik. Dan, hanya akulah sahabat satu-satunya  terdekat Ellen. Namun entah kenapa dia mau bersahabat denganku yang hanya orang sedernaha? Tapi kiranya itupun hanya Ellen yang tahu.
Lima tahun waktu yang telah aku habiskan berteman bersama Ellen, semenjak kami sama-sama sekolah di SMP dulu. Sekarang kami sudah berada di kelas tiga SMA, dan ia masih tetap saja sahabatku yang paling sejati.
“Anak-anak, kita kedatangan teman baru,” kata Bu Guru ketika pelajaran akan di mulai.
“Siapa, Bu?” tanya salah seorang teman kami.
“Ayo, silakan masuk!” kata Bu Guru mempersilahkan masuk kepada anak baru  itu.
“Ayo, perkenalkan dirimu pada teman-teman kamu ini,” tembal Bu Guru.
“Selamat pagi teman-teman!” sapanya.
“Pagi,” jawab kami serentak.
“Namaku Dimas. Aku pindahan dari Jakarta,” kata anak baru itu memperkenalkan diri.
“Nah Dimas, sudah dulu perkenalannya, nanti bisa disambung lagi. Sekarang kau sudah boleh duduk,” kata Bu guru.
“Di mana, Bu?” tanya anak baru itu. Ibu guru terdiam sesaat.
“Eko, ia duduk bersamamu, ya? Dan kau Edo pindah ke belakang duduk dengan Anisa!” kata Bu Guru.
“Baik, Bu.” tembal Eko dan Edo.
“Dimas, ayo duduk!” ajak Eko kepada Dimas. Tak lama kemudian, Dimas pun  duduk bersama Eko. Dimas duduk persis di depan mejaku dengan Ellen.
“Oh iya, namaku Dimas,” sapanya sambil mengulurkan tangannya kepada Ellen.
“Namaku Ellen,” jawab Ellen.
“Aku Dimas!” Dimas juga memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Aku Alisa,” jawabku sambil kujabat tangannya.
“Senang sekali, aku bisa berkenalan dengan kalian semua,” tembalnya sambil kembali mengarahkan pendanggannya ke arah papan tulis, hingga pelajaran pun selesai. Lantas kami segera keluar dari kelas, pulang menuju rumah masing-masing.
“Lisa, ngomong-ngomong anak baru tadi lumayan juga, ya?” cetus Ellen kepadaku.
“Ehm…rupanya di sini ada orang yang lagi kesengsem nih,” ledekku kepada Ellen.
“Ah, kamu ini bisa saja, aku kan cuma memujinya. Apa memuji itu nggak boleh?” tembal Ellen.
“Memuji…apa memuji…” aku menggodanya.
“Memuji,” desah Ellen dibarengi dengan raut wajahnya yang putih itu nampak berubah  kemerah-merahan. Rupanya Ellen terpesona oleh Dimas.
**

“Alisa, berangkat bareng, yuk?”  ajak Dimas kepadaku. Aku sedang menunggu Ellen yang biasa datang menjemputku berangkat sekolah.
“Dimas!” kataku kaget. Ternyata Dimas tinggal persis di depan rumahku.
“Tidak ah, terima kasih. Aku sedang menunggu Ellen, temanku!” tembalku.
“Oh…Ellen, teman sebangkumu itu ya?” Tanya Dimas.
“Iya,” jawabku. Tapi Dimas tidak lantas pergi, ia berdiri di sampingku menunggu Ellen yang biasanya datang menjemputku.
“Tak lama kemudian, Dimas pun segera menghidupkan sepeda motornya.
“Ayo, naiklah!” tembalnya.
“Mungkin hari ini Ellen tak akan menjemputmu. Lekaslah, kita sudah kesiangan nih!” kata Dimas sambil melihat jam yang ada di tanggannya itu. Aku tak bisa menolak ajakan Dimas. Mungkin hari ini Ellen tak akan datang menjemputku, apalagi aku pun sudah terlambat, terpaksa aku menuruti ajakan Dimas. Aku pun lekas naik ke sepeda motornya.
“Oh iya Dimas, Ellen titip salam buatmu,” kataku.
“Ah, kamu ini bisa saja,” Dimas menanggapinya dingin.
“Benar, rupanya Ellen itu menaruh simpatik buatmu,” kataku.
“Mana mungkin itu terjadi. Aku kan…”
“Tapi bener lho,” kataku memotong bicaranya.
“Apa nanti nggak akan ada yang cemburu nih?” Dimas meledekku sambil matanya yang sayu itu meneleng  ke arahku.
“Siapa lagi yang akan cemburu,” kataku sambil mencubit lenggannya. Semenjak itu hubungan kami pun semakin akrab, dan kedekatannya dengan Ellen pun semakin erat.
Namun, semuanya tak berjalan lama, perubahan sikap Ellen kepadaku berbeda dari seperti biasannya. Sejak kedatangan Dimas diantara kami, Ellen keliru mengartikan kabaikanku kepada Dimas, hingga persahabatan kami pun menjadi kurang sehat.
“Percayalah Ellen, aku tidak akan berbuat kelakuan senista itu. Jangankan aku bermimpi menjadi miliknya, menarik perhatiaannya pun aku tak berani,” kataku, karena aku sadar siapa sebenarnya aku ini. Bila dibandingkan dengan Ellen yang cantik dan kaya itu, aku tidak ada apa-apanya.
“Kau bohong!” cetus Ellen seakan tak percaya dengan semua perkataanku itu.
“Itu semua benar, Ellen! Aku tidak ada apa-apa dengan Dimas. Jika kau masih meragukannya, sekarang aku akan bersumpah di hadapanmu.” kataku. Tak terasa basah mata pun telah melumuri kedua pipiku. Aku sedih sekali, ketika Ellen yang sudah lama sekali menjadi sahabatku, sekarang ia sudah meragukan kejujuranku. Ellen sudah tak mempercayaiku lagi.
“Aku akan bersumpah di hadapanmu! Demi Allah, aku…” Ellen menempelkan jemarinya ke mulutku. Akupun tak bisa berkta-kata lagi.
“Alisa, sudah! Aku percaya kepadamu.” kata Ellen dengan suaranya yang berat menahan air mata.
“Ellen,” lirihku, sambil menatap mata Ellen. Terlihat butir-butir air mata telah menetes dari sudut-sudut matanya. Aku segera memeluk tubuhnya.
“Alisa, maafkan aku! Kau ternyata sahabatku yang paling baik.” desah Ellen dengan suaranya yang berat dengan air mata.
“Tidak, Ellen! Justru aku yang seharusnya minta maaf kepadamu,” kataku lirih. Aku memeluk tubuhnya erat sekali. Ellen pun membalasnya. Semenjak itu, persahabatan kami pun kembali membaik.
“Belum pulang, Lis? Kata seseorang memecahkan lamunanku. Aku menoleh ke arah suara itu, ternyata Dimas.
“Ellen mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sudah kuantar pulang,” jawab Dimas.
“Bagaimana kalau kita pulang bersama, ada yang perlu aku sampaikan kepadamu.” katanya.
“Begitu pentingkah, Dim?” tanyaku.
“Ayolah Lis, masalah ini jangan sampai berlarut-larut.” pintanya. Akhirnya, aku pun menurut saja.
“Oh iya Dim, apa yang hendak kau sampaikan padaku itu?” tanyaku setelah sesampainya di rumah.
“Begini Lis, ternyata Ellen telah salah sangka dengan kebaikanku selama ini kepadanya. Kau tahu, Ellen ternyata mencintaiku,” katanya.
“Oh iya,” kataku pura-pura tak mengerti.
“Bukankah seharusnya kau itu bangga mendapatkan Ellen yang baik itu juga cantik.’ tembalku.
“Tidak Lis, sebab hatiku telah terpaut dengan seseorang yang sangat kukagumi selama ini,” katanya.
“Lalu siapakah perempuan yang beruntung itu, Dim?” kataku penasaran.
“Kamu,” jawab Dimas.
“He…he..” aku tak dapat menahan tawaku, kukira Dimas bercanda.
“Aku mencintaimu, Alisa!” katanya tegas.
“Aku!” aku melongo. Sejenak  aku terdiam, berpikir.  
“Tidak Dimas, jangan aku. Aku tak mungkin bersaing dengannya. Kalau kamu tak menerima Ellen, lebih baik kau juga tak perlu berteman lagi denganku. Biarkan kami menghadapi ujian akhir dengan tenang.” jelasku.
Tiba-tiba aku melihat Ellen keluar dari balik rumahku. Ternyata dari tadi Ellen mengawasi kami berdua.
“Alisa, kau adalah temanku yang sejati. Tidak, aku tak akan pernah lagi untuk menyakitimu.” kata Ellen yang begitu erat memeluk tubuhku.
“Ellen,” desahku lirih. Tak terasa air mata pun telah mengalir membasahi pipi kami berdua. Tapi, sejujurnya sebagian dari air mataku itu adalah untuk kepergian Dimas yang telah meninggalkan kami berdua dengan membawa seribu kekecewaan di dalam hatinya.

“Maafkan aku Dimas! Kau tak lebih dari seseorang yang tak akan pernah kumiliki.” Gumamku.***

Related Posts:

  • Cerpen Remaja: Yang Tak Pernah Kumiliki Yang Tak Pernah Kumiliki Oleh : De Shandy Aku tak tahu, entah kenapa gadis yang bernama Ellen itu mau bersahabat denganku yang hanya seorang perempuan sederhana. Padahal Ellen itu adalah anak dari orang yang sangat kaya … Read More
  • Cerpen Remaja - Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan Oleh : De Shandy Sepucuk undangan biru kau layangkan kepadaku. Kau ceritakan deritamu. Kau buka tabir gelapmu yang tertulis dari sebagian takdir itu. Tersurat kegetiran yang teram… Read More
  • Cerpen Remaja - Ah...Cinta AH…CINTA! Oleh : De Shandy             Seperti sudah direncanakan, bulan kemarin Titin dan Tresa selesai melangsungkan perenikahan. Sebelumnya, Yanti yang lebih… Read More

0 comments:

Posting Komentar