Yang Tak Pernah Kumiliki
Oleh : De
Shandy
Aku tak tahu, entah
kenapa gadis yang bernama Ellen itu mau bersahabat denganku yang hanya seorang
perempuan sederhana. Padahal Ellen itu adalah anak dari orang yang sangat kaya
raya di kotaku. Juga orangnya yang sangat pintar dan wajahnya yang begitu
cantik, pantas saja kalau di sekolah ia dijuluki sebagai kembangnya kampus.
Maka, wajar kalau banyak laki-laki yang mengejar-ngejarnya, karena selain
cantik Ellen juga orangnya yang cukup ramah.
Aku merasa bangga dan
bahagia dapat bersahabat dengannya, karena Ellen itu juga orangnya yang sangat
baik. Dan, hanya akulah sahabat satu-satunya
terdekat Ellen. Namun entah kenapa dia mau bersahabat denganku yang hanya
orang sedernaha? Tapi kiranya itupun hanya Ellen yang tahu.
Lima tahun waktu yang
telah aku habiskan berteman bersama Ellen, semenjak kami sama-sama sekolah di
SMP dulu. Sekarang kami sudah berada di kelas tiga SMA, dan ia masih tetap saja
sahabatku yang paling sejati.
“Anak-anak, kita
kedatangan teman baru,” kata Bu Guru ketika pelajaran akan di mulai.
“Siapa, Bu?” tanya salah
seorang teman kami.
“Ayo, silakan masuk!”
kata Bu Guru mempersilahkan masuk kepada anak baru itu.
“Ayo, perkenalkan dirimu
pada teman-teman kamu ini,” tembal Bu Guru.
“Selamat pagi
teman-teman!” sapanya.
“Pagi,” jawab kami
serentak.
“Namaku Dimas. Aku
pindahan dari Jakarta,” kata anak baru itu memperkenalkan diri.
“Nah Dimas, sudah dulu
perkenalannya, nanti bisa disambung lagi. Sekarang kau sudah boleh duduk,” kata
Bu guru.
“Di mana, Bu?” tanya anak
baru itu. Ibu guru terdiam sesaat.
“Eko, ia duduk bersamamu,
ya? Dan kau Edo pindah ke belakang duduk dengan Anisa!” kata Bu Guru.
“Baik, Bu.” tembal Eko
dan Edo.
“Dimas, ayo duduk!” ajak
Eko kepada Dimas. Tak lama kemudian, Dimas pun
duduk bersama Eko. Dimas duduk persis di depan mejaku dengan Ellen.
“Oh iya, namaku Dimas,”
sapanya sambil mengulurkan tangannya kepada Ellen.
“Namaku Ellen,” jawab
Ellen.
“Aku Dimas!” Dimas juga
memperkenalkan dirinya kepadaku.
“Aku Alisa,” jawabku
sambil kujabat tangannya.
“Senang sekali, aku bisa
berkenalan dengan kalian semua,” tembalnya sambil kembali mengarahkan
pendanggannya ke arah papan tulis, hingga pelajaran pun selesai. Lantas kami
segera keluar dari kelas, pulang menuju rumah masing-masing.
“Lisa, ngomong-ngomong
anak baru tadi lumayan juga, ya?” cetus Ellen kepadaku.
“Ehm…rupanya di sini ada
orang yang lagi kesengsem nih,” ledekku kepada Ellen.
“Ah, kamu ini bisa saja,
aku kan cuma memujinya. Apa memuji itu nggak boleh?” tembal Ellen.
“Memuji…apa memuji…” aku
menggodanya.
“Memuji,” desah Ellen
dibarengi dengan raut wajahnya yang putih itu nampak berubah kemerah-merahan. Rupanya Ellen terpesona oleh
Dimas.
**
“Alisa, berangkat bareng,
yuk?” ajak Dimas kepadaku. Aku sedang menunggu
Ellen yang biasa datang menjemputku berangkat sekolah.
“Dimas!” kataku kaget.
Ternyata Dimas tinggal persis di depan rumahku.
“Tidak ah, terima kasih.
Aku sedang menunggu Ellen, temanku!” tembalku.
“Oh…Ellen, teman
sebangkumu itu ya?” Tanya Dimas.
“Iya,” jawabku. Tapi
Dimas tidak lantas pergi, ia berdiri di sampingku menunggu Ellen yang biasanya
datang menjemputku.
“Tak lama kemudian, Dimas
pun segera menghidupkan sepeda motornya.
“Ayo, naiklah!”
tembalnya.
“Mungkin hari ini Ellen
tak akan menjemputmu. Lekaslah, kita sudah kesiangan nih!” kata Dimas sambil
melihat jam yang ada di tanggannya itu. Aku tak bisa menolak ajakan Dimas.
Mungkin hari ini Ellen tak akan datang menjemputku, apalagi aku pun sudah terlambat,
terpaksa aku menuruti ajakan Dimas. Aku pun lekas naik ke sepeda motornya.
“Oh iya Dimas, Ellen
titip salam buatmu,” kataku.
“Ah, kamu ini bisa saja,”
Dimas menanggapinya dingin.
“Benar, rupanya Ellen itu
menaruh simpatik buatmu,” kataku.
“Mana mungkin itu
terjadi. Aku kan…”
“Tapi bener lho,” kataku
memotong bicaranya.
“Apa nanti nggak akan ada
yang cemburu nih?” Dimas meledekku sambil matanya yang sayu itu meneleng ke arahku.
“Siapa lagi yang akan
cemburu,” kataku sambil mencubit lenggannya. Semenjak itu hubungan kami pun
semakin akrab, dan kedekatannya dengan Ellen pun semakin erat.
Namun, semuanya tak
berjalan lama, perubahan sikap Ellen kepadaku berbeda dari seperti biasannya.
Sejak kedatangan Dimas diantara kami, Ellen keliru mengartikan kabaikanku
kepada Dimas, hingga persahabatan kami pun menjadi kurang sehat.
“Percayalah Ellen, aku
tidak akan berbuat kelakuan senista itu. Jangankan aku bermimpi menjadi
miliknya, menarik perhatiaannya pun aku tak berani,” kataku, karena aku sadar
siapa sebenarnya aku ini. Bila dibandingkan dengan Ellen yang cantik dan kaya
itu, aku tidak ada apa-apanya.
“Kau bohong!” cetus Ellen
seakan tak percaya dengan semua perkataanku itu.
“Itu semua benar, Ellen!
Aku tidak ada apa-apa dengan Dimas. Jika kau masih meragukannya, sekarang aku
akan bersumpah di hadapanmu.” kataku. Tak terasa basah mata pun telah melumuri
kedua pipiku. Aku sedih sekali, ketika Ellen yang sudah lama sekali menjadi
sahabatku, sekarang ia sudah meragukan kejujuranku. Ellen sudah tak
mempercayaiku lagi.
“Aku akan bersumpah di
hadapanmu! Demi Allah, aku…” Ellen menempelkan jemarinya ke mulutku. Akupun tak
bisa berkta-kata lagi.
“Alisa, sudah! Aku
percaya kepadamu.” kata Ellen dengan suaranya yang berat menahan air mata.
“Ellen,” lirihku, sambil
menatap mata Ellen. Terlihat butir-butir air mata telah menetes dari
sudut-sudut matanya. Aku segera memeluk tubuhnya.
“Alisa, maafkan aku! Kau
ternyata sahabatku yang paling baik.” desah Ellen dengan suaranya yang berat
dengan air mata.
“Tidak, Ellen! Justru aku
yang seharusnya minta maaf kepadamu,” kataku lirih. Aku memeluk tubuhnya erat
sekali. Ellen pun membalasnya. Semenjak itu, persahabatan kami pun kembali
membaik.
“Belum pulang, Lis? Kata
seseorang memecahkan lamunanku. Aku menoleh ke arah suara itu, ternyata Dimas.
“Ellen mana?” tanyaku
mengalihkan pembicaraan.
“Sudah kuantar pulang,”
jawab Dimas.
“Bagaimana kalau kita
pulang bersama, ada yang perlu aku sampaikan kepadamu.” katanya.
“Begitu pentingkah, Dim?”
tanyaku.
“Ayolah Lis, masalah ini
jangan sampai berlarut-larut.” pintanya. Akhirnya, aku pun menurut saja.
“Oh iya Dim, apa yang
hendak kau sampaikan padaku itu?” tanyaku setelah sesampainya di rumah.
“Begini Lis, ternyata
Ellen telah salah sangka dengan kebaikanku selama ini kepadanya. Kau tahu,
Ellen ternyata mencintaiku,” katanya.
“Oh iya,” kataku
pura-pura tak mengerti.
“Bukankah seharusnya kau
itu bangga mendapatkan Ellen yang baik itu juga cantik.’ tembalku.
“Tidak Lis, sebab hatiku
telah terpaut dengan seseorang yang sangat kukagumi selama ini,” katanya.
“Lalu siapakah perempuan
yang beruntung itu, Dim?” kataku penasaran.
“Kamu,” jawab Dimas.
“He…he..” aku tak dapat
menahan tawaku, kukira Dimas bercanda.
“Aku mencintaimu, Alisa!”
katanya tegas.
“Aku!” aku melongo.
Sejenak aku terdiam, berpikir.
“Tidak Dimas, jangan aku.
Aku tak mungkin bersaing dengannya. Kalau kamu tak menerima Ellen, lebih baik
kau juga tak perlu berteman lagi denganku. Biarkan kami menghadapi ujian akhir
dengan tenang.” jelasku.
Tiba-tiba aku melihat
Ellen keluar dari balik rumahku. Ternyata dari tadi Ellen mengawasi kami
berdua.
“Alisa, kau adalah
temanku yang sejati. Tidak, aku tak akan pernah lagi untuk menyakitimu.” kata
Ellen yang begitu erat memeluk tubuhku.
“Ellen,” desahku lirih.
Tak terasa air mata pun telah mengalir membasahi pipi kami berdua. Tapi,
sejujurnya sebagian dari air mataku itu adalah untuk kepergian Dimas yang telah
meninggalkan kami berdua dengan membawa seribu kekecewaan di dalam hatinya.
“Maafkan aku Dimas! Kau
tak lebih dari seseorang yang tak akan pernah kumiliki.” Gumamku.***
0 comments:
Posting Komentar