KRITIK DAN DEMOKRASI
Oleh : De Shandy
Ada sebuah ungkapan, “jangan sekedar mengkritik, tapi berikan solusinya”. Mengingat suatu kritik menjadi momok yang sangat manakutkan. Sebuah ‘penghinaan’ yang acap kali mengganggu jaminan keamanan intelektualitas dan merusak martabat kehormatan sosial seseorang. Kritik menjadikan dirinya sebuah kekuatan untuk menjungkirbalikkan kemapanan, kebulatan, kepuasan dan mengguncang emosionalitas seseorang. Tak heran apabila kritik dianggap semacam serangan yang mesti diwaspadai eksistensinya.
Padahal, apabila dilihat dari asal katanya, kritik yang berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “yang membedakan”. Atau krites (bahasa Yunani Kuno) yang berarti “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis, pertimbangan nilai, interpretasi atau pengamatan”. Artinya, kritik lebih merupakan sebuah analisa seseorang, sekumpulan orang, institusi, lembaga atau komunitas tertentu mengenai suatu objek.
Objek kajian kritik bersifat universal, hampir bisa masuk ke ranah kategori objek apapun, baik itu seni, sosial, agama, politik, dll. Namun, ada yang perlu digarisbawahi mengenai apapun yang menjadi objek kritik tersebut, bahwa kritik tidak pernah sekalipun masuk ke ranah kelemahan fisik. Kritik merupakan sebuah bentuk komentar terhadap suatu objek agar terjadi progres pada objek lainnya di masa mendatang. Sedangkan kelemahan fisik seseorang bukanlah objek yang bisa dirubah. Jadi, komentar terhadap kekurangan fisik seseorang bukanlah salah satu bentuk kritik melainkan sebuah ‘penghinaan’.
Apabila kita lihat kenyataannya di lapangan, masyarakat kita yang terbiasa mendengarkan komentar-komentar atau caci maki di lingkungan sekitarnya, mulai dari sekumpulan ibu-ibu yang membicarakan kekurangan tetangganya, presenter TV yang menjelek-jelekan saingannya, atau seorang ceramah seorang pemuka agama yang mengutuk agama lain atau bahkan mengutuk saudara seagamanya sendiri yang bermadzab lain misal. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat kita sering menyamaratakan komentar demi sebuah progresivitas (kritik) dengan komentar untuk menjatuhkan (penghinaan).
Kritik merupakan suatu analisa atau pendapat yang berupaya untuk membangun, meluruskan, dan membenarkan suatu objek agar objek tersebut menjadi lebih baik. Seperti yang terdapat dalam bahasa latin ceratio yang berarti ‘mewujudkan’. Dalam hal ini mengandung arti bahwa dalam usaha kritik ternyata ada semacam kreasi, yakni terobosan yang membangun, mewujudkan sesuatu yang baru. Kritik adalah sebuah amanat yang mesti ditunaikan oleh pelaku kritik, sekaligus janji yang semestinya dinantikan oleh objek kritikan. Sebab, disinilah kritik sesungguhnya menampakkan nilainya yang berkeadilan. Dimana kita yang dikritik ada diantara cemas dan puas, sebaliknya kita yang mengkritik pun ada diantara cemas dan puas. Karena, posisi kita sebagai objek kritikan sebenarnya sama dengan kita sebagai subjek.
Sebuah kritik menuntut suatu tanggung jawab, ketajaman, ketekunan, kesabaran, keberanian mempertahankan sikap dalam memihak atau mengambil sikap berbeda. Dimana ia harus mendekonstruksi skeptikanya sendiri secara terus menerus dan pro-aktif, atau membangun skeptikanya secara kokoh dan tak tergoyahkan lagi. Artinya, seorang kritikus disamping aktif sebagai ‘penghancur’ tapi juga harus produktif sebagai pencipta gagasan. Disinilah kritik akan menemukan dirinya yang berkeadilan.
Hal yang senada bisa kita temukan juga dalam bahasa Arab yaitu naqq atau naqqad yang berarti seorang tukang yang memeriksa kepingan-kepingan logam dinar dan dirham, mempelajari campuran emas dan peraknya, serta mengukur kadar dan beratnya. Dalam hal ini menggambarkan bagaimana eksistensi seorang kritikus yang tidak kurang dari profesionalitas naqqad ini. Yakni, kalau saja ia tidak waspada, tidak tegas, tidak jujur, maka si naqqad ini pun akan cepat gulung tikar.
Kehidupan sebuah kritik berbanding lurus dengan adanya wilayah publik (public spere). Wilayah publik adalah suatu wilayah dimana tempat masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai akses yang seutuhnya terhadap semua kegiatan publik. Artinya, bahwa setiap warga negara mempunyai hak asasi manusia di dalam hidupnya untuk bebas menyampaikan pendapatnya, membuat suatu lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Namun ada yang perlu diingat bahwa yang menjadi taruhan di dalam wilayah publik itu bukanlah dari sebuah ‘kekuasaan’ tapi lebih ditekankan pada akal budi (reason). Begitu juga yang menjadi dasarnya, bukanlah suatu ‘kekuasaan’, tapi sebuah ‘kebenaran’. Rasionalitas yang tidak dijadikan sebagai alat dominasi, tapi lebih dijadikan sebagai alat tukar harian.
Dalam hal ini, bahwa untuk menumbuhkan tradisi kritik itu tidak bisa lepas dari tumbuhnya suatu wilayah publik yang bebas (dominasi). Sebaliknya, wilayah publik yang bebas itu bisa tumbuh dan berkembang dari adanya suatu kegiatan kritik sosial yang substantif. Atinya, di dalam kritik itu terdapat suatu “kesadaran” atau “rasionalitas”. Dan kesadaran itulah merupakan salah satu syarat dari suatu masyarakat yang demokratis. ***
0 comments:
Posting Komentar