Cinta Tak Pernah Tumbuh Di
Jalan-jalan
Oleh : De Shandy
Sepucuk
undangan biru kau layangkan kepadaku. Kau ceritakan deritamu. Kau buka tabir
gelapmu yang tertulis dari sebagian takdir itu. Tersurat kegetiran yang teramat
dalam pada dirimu. Bathinmu senantiasa bergerilya melawan gejolak yang tiada
tara selalu menaungimu. Dan, kau pun telah tenggelam dalam prahara yang
menimpamu. Tapi sadarilah, itu yang terbaik untukmu dan keluargamu. Aku bukan
milikmu.
Kecantikan
adalah suatu cobaan, sebab cinta itulah yang sempurna. Tapi jangan kau basahi
kehidupanmu itu dengan limpahan air mata. Sisakan untuk sebagian kebahagiaanmu.
Sandarkan sedikit perasaanmu untuk mengenang kesetiaan. Maka kau akan menang di
dalam seluruh ceritamu. Dan itu mengandalkan sebagian perasaanmu.
Mana gadis manja
yang kukenal dulu tersenyum manis kepadaku? Berteriaklah, jangan tahan tangismu menjerit bila
itu bisa mengurangi sedikit bebanmu. Dulu, kau yang tetap teguh memegang
prinsip; hidup bukan untuk diratapi, tapi untuk dinikmati. Mana jiwa cerpenis
dan novelismu? Kau yang tetap keras pada semua egomu itu dan menjungjung tinggi
nilai-nilai kebebasan. Dimana kita tidak boleh menyerah pada waktu. Mana harga
dirimu sebagai seorang penulis? Kemana ambisimu yang ingin menaklukkan dunia
dengan cinta? Kenyataannya kau malah tengelam dalam crita cintamu sendiri.
Kehormatan yang
setiap kali kau agung-agungkan pada karya-karyamu kini tinggalah sebuah harapan
di bawah telapak kakimu sendiri. Haruskah kusebut kau sebagai pecundang? Kau
yang tak mampu lagi berargumen, tak ubahnya seorang penakut yang hidup dalam
tekanannya. Kau seakan tertidur dalam ceritamu sendiri.
Bangunlah Yunda!
Akankah kau terus hidup dalam khayalan dan ilusimu? Lekas bangunlah Yunda!
Sebegitu indahkah dunia barumu itu hingga kau lebih memilih untuk tak sadarkan
diri? Masih ingatkah engkau pada dunia ini dimana tempat yang membesarkanmu
untuk tegar. Bangkitlah yunda! Ingatlah bahwa kehidupan itu adalah suatu proses
untuk hidup. Dan hidup bukanlah sesuatu yang kelam. Di situ tersimpan secercah
harapan yang akan mengajarimu untuk lebih dewasa. Lalu peluklah harapan itu.
Dan hal itu akan berguna bagi dirimu dan orang lain.
Yunda, ayo
bangunlah! Apakah kau tidak ingin melanjutkan tulisanmu lagi? Ataukah kau
sendiri sudah mulai lupa dengan akhir cerita dari keluarga neraka itu? Tapi
baguslah jika sekarang kau sudah insyaf atas dendammu pada bapak mertuamu itu.
Itu artinya kau sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu yang baru.
Hidupmu telah kembali pada kebebasanmu. Dan kau sudah berhasil membuktikannya
pada orang tuamu. Pada sisa
sakit hatimu kepada kekuasaan ayahmu.
**
Perih. Sakit
hati ini. Dengan langkah
pasti aku datiag di pesta perkawinannya.
“Selamat atas
pernikahan kalian berdua, semoga bahagia selamanya!” ucapku sambil kujabat
tangan mereka berdua. Lalu aku sendiri pergi dengan langkah yang sangat kecewa.
Tak bisa
kupungkiri hati kecilku untuk bisa menyalahkan ayahmu. Kusadari bahwa seorang
pengarang itu memang tidak akan bisa hidup hanya dengan memakan idealismenya
saja. Mereka pastilah membutuhkan yang lain untuk dapat mengganjal perutnya.
Dan semua itu bukan sekadar kepuasan bathiniah, tapi ekonomi juga.
Bukankah tak
sedikti dari sebagian mereka yang rela melepaskan harga dirinya, menjual
kejujurannya demi keuntungannya? Tapi aku bukanlah orang seperti itu. Itu
sebabnya penghianatan kedua orang tuamu dimulai. Mereka tidak setuju bila
nantinya kau harus hidup dalam dunia ilusi dan khayalan. Karena itu mereka
tidak merestui hubungan kita berdua. Alhasil, mereka mulai memperkosa hak-hakmu
dan mengatur segala kehidupanmu.
“Maafkan aku
Yunda. Aku tak bisa memperjuangkan cintamu. Aku telah gagal dalam
mempertahankanmu. Maafkan aku!’ Tak terasa basah mata telah melumuri kedua
pipiku. Aku menangis.
Semenjak itu
hari-hari yang kulalui terasa sepi dan hampa. Semuanya serba hambar. Namun
waktu terus berjalan. Tiga tahun telah berlalu, tapi aku tak bisa melupakanmu
dengan sepenuhnya.
**
Gerimis senja
turun satu persatu. Kemudian
deras mengguyur tanah kota. Mengingatkanku pada peristiwa yang telah menimpa
Yunda. Dia adalah mawar, bukan nama sebenarnya karena sudah diganti oleh
mucikarinya. Supaya tidak seperti orang kampung dan mudah dikenali, katanya.
Setelah menikah
dengan laki-laki pilihan orang tuanya menelan pil pahit, bahkan mertuanya
sendiri yang sampai tega menjerumuskannya pada jurang kenistaan itu, kini dia
terlihat lebih segar dan bugar.
“Aku telah
bebas…! Katanya. Walaupun tak dapat kumengerti bahwa sebenarnya dia sudah
terjerumus ke dalam jurang yang lebih nista lagi. Tapi bagaimanapun juga dia
seakan merasa puas telah bisa melampiaskan segala sakit hatinya itu kepada
kedua orang tuanya.
Tiga tahun waktu
yang telah ia habiskan bersama suaminya. Selama itu pula pil pahit yang harus
ditelan Mawar. Rumah tangganya tidak berjalan mulus seperti apa yang diharapkan
oleh orang tuanya. Bahkan ketika
mertuanya sendiri ikut menodai rumah tangganya, semakin bertambah pula
penderitaannya. Seorang ayah yang telah memanfaatkan kesempatan pada kesempitan
anaknya, ayah mertua yang telah tega memperkosa istri dari anaknya sendiri.
Seorang ayah yang telah menjerumuskannya pada seorang mucikari ketika tahu
situasi yang telah menimpa kehidupan rumah tangga anaknya diambang pintu
kehancuran.
**
Sudah hampir
tiga jam aku menunggu di tempat itu, tapi hujan tak reda juga. Lalu aku memandang
ke arah langit dan awan hitam masih menggantung menandakan hujan akan cukup
lama.
“Menunggu adalah
pekerjaan paling menjemukkan yang pernah aku lakukan,” ucapnya. Suara yang
tidak asing lagi kudengar. Kemudian aku memandang ke arah suara tersebut.
“Yunda!”
pekikku.
“Kau sudah lama
berteduh di sini juga?” tanyaku.
“Lumayan.
Habisnya kamu melamun saja, jadinya tak menyadari kedatanganku di sini”
tembalnya. Lalu ia menghampiriku, dan duduk disampingku. Tak lama kemudian
tangannya dimasukannya pada sebuah tas yang dibawanya. Hendak mengambil
sesuatu. Ternyata sebungkus rokok. Lalu diambilnya sebatang dan dinyalakannya.
Sisanya ia simpan disampingku seakan ingin menawariku.
Tak lama
kemudian kulihat asap rokok mengepul dari mulutnya. Seperti yang sudah biasa
merokok. Padahal yang kutahu sebelumnya, dia itu adlah seorang perempuan yang
anti rokok.
“Sendirian?
Ceweknya nggak dibawa?” katanya memecahkan lamunanku yang masih merasa heran
dengan sikapnya yang menjadi seorang perokok.
“Apa? Cewek!
Maksudmu cewek siapa?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Ah kamu ini
bisa saja. Ya cewek siapa lagi kalau bukan cewek kamu,” tembalnya.
“Oh itu…sekarang
kan dia lagi duduk disampingku,” aku menggodanya sambil tak sengaja aku menatap
matanya. Sesaat dia seakan terhanyut dalam pandangannya yang dalam sekali. Ia
memandang wajahku. Tapi tak bertahan lama, dia langsung tertunduk tersipu malu.
Terlihat rona merah yang memancar dari wajahnya. Seperti pertama kali aku
menembaknya dulu. Dia tersipu malu-malu dengan wajah tertunduk tak berani
menatapku. Tapi, ada yang berubah dari sikapnya yang sekarang. Seakan
mengingatkannya pada suatu kejadian yang sedang dijalaninya. Tentu saja, dia
kan sebelumnya pernah menjalin hubungan denganku. Lima tahun adalah waktu yang
bukan sebentar untuk dapat melupakan sebuah kenangan. Kenangan dua orang yang
saling mnecintai.
“Yunda…maafkan
aku!” aku memecahklan lamunannya.
“Haah…!!”
“Aku tidak
bermaksud untuk menyinggungmu,”
“Tidak apa-apa.
Mungkin aku saja yang terbawa suasana,” dia langsung menghapus basah matanya.
Dia mencoba untuk tersenyum kembali. Walaupun kutahu dalam senyumannya itu
tersimpan sebuah luka yang sangat dalam.
“Bagaimana kabar
suamimu?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Dia baik-baik
saja,” tembalnya.
“Lalu kenapa kau
sendirian di sini malam-malam begini? Kemana suamimu? Tak baik lho seorang
perempuan yang sudah berkeluarga mesih berkeliaran sendirian di luar rumah
sampai larut malam.” Kataku.
“Aku kerja,”
katanya singkat.
“Apa! Kerja? Apa
aku tidak salah dengar?”
“Benar, aku
kerja Andika”
“Bukankah
suamimu itu orang kaya. Mana
mungkin istri dari seorang direktur terkemuka di sini disuruh bekerja. Apalagi
bekerja malam,” aku seperti tak percaya sedikit pun dengan kata-katanya itu.
“Aku sudah
cerai,” tembalnya singkat.
“Apa, cerai!
Tapi kenapa? Bukankah kalian saling mencintai?” tanyaku penasaran. Kemudian dia
langsung manatapku.
“Aku sama sekali
tidak pernah mencintainya. Apalagi untuk mencitai laki-laki yang tidak
mempunyai tanggung jawab seperti itu,” tempasnya. Sementara aku merasa heran dan iba pada kehidupan
yang telah menimpanya. Tidak pernah kubayangkan seperti itu jadinya. Yang
kupikirkan dulu tentang dia adalah menjadi istri yang sangat bahagia dari
seorang suami yang sangat kaya raya dan sangat mencintainya.
“Maksudmu
tanggung jawab bagaimana?”
“Ya, rasa
tanggung jawab kepada orang yang dicintainya jika ia benar-benar mencintainya.
Tanggung jawab kepada istrinya sendiri yang telah diperkosa oleh ayahnya
sendiri” sesaa dia menghentikan kata-katanya. Dan tak lama kulihat butir-butir
air mata keluar dari sela-sela juru matanya.
“Bukan malah
menuduhku telah menggoda ayahnya yang duda itu. Bahkan dia sampai rela ketika
ayahnya telah menjual istrinya sendiri pada seorang mucikari. Apa itu namanya
suami yang bertanggung jawab?” tegasnya. Kulihat air matanya yang semakin
deras. Telah melumuri kedua pipinya.
“Yunda, maafkan
aku! Aku tidak bermaksud untuk…”
“An..dika, aku
sudah tak tahan lagi. Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus hidup seperti
ini,” lirihnya dengan suara yang parau sedang menahan sakit di hatinya. Dan tak
terasa dia telah memelukku dengan eratnya, menumpahkan segala kesedihannya itu
kepadaku. Begitu dalam.
“Sabarlah Yunda!
Bila mau menangis, menangislah sepuasmu. Keluarkan segala kepedihanmu itu jika
itu bisa membuatmu merasa lebih lega!” bisikku lirih. Mencoba untuk membesarkan
hatinya.
Dan, malam pun
semakin larut. Angin malam menebarkan rasa dinginnya. Menusuk pori-pori
kulitku. Tanpa sadar bibirnya telah bersatu dengan bibirku. Lalu perlahan-lahan
ia mulai membuka kancing bajunya satu persatu. Seperti sedang tertidur pulas
dalam syahwatnya.
“Tidak, Yunda.
Jangan lakukan itu!” aku perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“kenapa? Karena
aku seorang pelacur?” Ia melepaskan pelukannya. Lalu duduk tertunduk sambil
memeluk kedua lututnya yang ia rapatkan di dadanya.
“Bukan, bukan
itu maksudku Yunda,” aku memberinya pengertian. Sambil kubelai mesra rambutnya.
“Lalu kenapa?”
katanya.
“Aku Cuma tidak
bisa melakukannya saja,” jawabku singkat.
“Apa mungkin
karena kau sudah mempunyai istri?” sambil menatapku. Aku menggelengkan
kepalaku.
“Lalu kenapa?
Apa kamu sudah lupa akan semua kenangan kita dulu, dimana kita bersama-sama
menjel;ajahi dunia baru ini. Kendati secara diam-diam. Sampai-sampai kita hapal
semua jalan dan tikungan yang ada. Sama halnya seperti kamu yang sudah hapal
setiap lekukan yang ada ditubuhku” tak lama kemudian ia mengambil sebatang
rokok lagi dari tempatnya. Lalu dinyalakannya. Dihisapnya.
“Tentu saja aku
tidak akan pernah melupakan semua itu. Tetapi tidak untuk sekarang!” Ia
menatapku.
“Tapi kenapa?”
“Justru karena
itu, karena sekarang aku akan segera meminangmu!” ucapku sambil membuang rokok
yang baru dihisapnya itu.
“Sebab, cinta
itu tak pernah tumbuh di jalan-jalan!” kataku sambil memeluk tubuhnya. Dia pun
membalasnya. Erat sekali.***
0 comments:
Posting Komentar