Sabtu, 17 Desember 2016

Cerpen Remaja - Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan

Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan
Oleh : De Shandy


Sepucuk undangan biru kau layangkan kepadaku. Kau ceritakan deritamu. Kau buka tabir gelapmu yang tertulis dari sebagian takdir itu. Tersurat kegetiran yang teramat dalam pada dirimu. Bathinmu senantiasa bergerilya melawan gejolak yang tiada tara selalu menaungimu. Dan, kau pun telah tenggelam dalam prahara yang menimpamu. Tapi sadarilah, itu yang terbaik untukmu dan keluargamu. Aku bukan milikmu.
Kecantikan adalah suatu cobaan, sebab cinta itulah yang sempurna. Tapi jangan kau basahi kehidupanmu itu dengan limpahan air mata. Sisakan untuk sebagian kebahagiaanmu. Sandarkan sedikit perasaanmu untuk mengenang kesetiaan. Maka kau akan menang di dalam seluruh ceritamu. Dan itu mengandalkan sebagian perasaanmu.
Mana gadis manja yang kukenal dulu tersenyum manis kepadaku? Berteriaklah, jangan tahan tangismu menjerit bila itu bisa mengurangi sedikit bebanmu. Dulu, kau yang tetap teguh memegang prinsip; hidup bukan untuk diratapi, tapi untuk dinikmati. Mana jiwa cerpenis dan novelismu? Kau yang tetap keras pada semua egomu itu dan menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Dimana kita tidak boleh menyerah pada waktu. Mana harga dirimu sebagai seorang penulis? Kemana ambisimu yang ingin menaklukkan dunia dengan cinta? Kenyataannya kau malah tengelam dalam crita cintamu sendiri.
Kehormatan yang setiap kali kau agung-agungkan pada karya-karyamu kini tinggalah sebuah harapan di bawah telapak kakimu sendiri. Haruskah kusebut kau sebagai pecundang? Kau yang tak mampu lagi berargumen, tak ubahnya seorang penakut yang hidup dalam tekanannya. Kau seakan tertidur dalam ceritamu sendiri.
Bangunlah Yunda! Akankah kau terus hidup dalam khayalan dan ilusimu? Lekas bangunlah Yunda! Sebegitu indahkah dunia barumu itu hingga kau lebih memilih untuk tak sadarkan diri? Masih ingatkah engkau pada dunia ini dimana tempat yang membesarkanmu untuk tegar. Bangkitlah yunda! Ingatlah bahwa kehidupan itu adalah suatu proses untuk hidup. Dan hidup bukanlah sesuatu yang kelam. Di situ tersimpan secercah harapan yang akan mengajarimu untuk lebih dewasa. Lalu peluklah harapan itu. Dan hal itu akan berguna bagi dirimu dan orang lain.
Yunda, ayo bangunlah! Apakah kau tidak ingin melanjutkan tulisanmu lagi? Ataukah kau sendiri sudah mulai lupa dengan akhir cerita dari keluarga neraka itu? Tapi baguslah jika sekarang kau sudah insyaf atas dendammu pada bapak mertuamu itu. Itu artinya kau sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu yang baru. Hidupmu telah kembali pada kebebasanmu. Dan kau sudah berhasil membuktikannya pada orang tuamu. Pada sisa sakit hatimu kepada kekuasaan ayahmu.
**

Perih. Sakit hati ini. Dengan langkah pasti aku datiag di pesta perkawinannya.
“Selamat atas pernikahan kalian berdua, semoga bahagia selamanya!” ucapku sambil kujabat tangan mereka berdua. Lalu aku sendiri pergi dengan langkah yang sangat kecewa.
Tak bisa kupungkiri hati kecilku untuk bisa menyalahkan ayahmu. Kusadari bahwa seorang pengarang itu memang tidak akan bisa hidup hanya dengan memakan idealismenya saja. Mereka pastilah membutuhkan yang lain untuk dapat mengganjal perutnya. Dan semua itu bukan sekadar kepuasan bathiniah, tapi ekonomi juga.
Bukankah tak sedikti dari sebagian mereka yang rela melepaskan harga dirinya, menjual kejujurannya demi keuntungannya? Tapi aku bukanlah orang seperti itu. Itu sebabnya penghianatan kedua orang tuamu dimulai. Mereka tidak setuju bila nantinya kau harus hidup dalam dunia ilusi dan khayalan. Karena itu mereka tidak merestui hubungan kita berdua. Alhasil, mereka mulai memperkosa hak-hakmu dan mengatur segala kehidupanmu.
“Maafkan aku Yunda. Aku tak bisa memperjuangkan cintamu. Aku telah gagal dalam mempertahankanmu. Maafkan aku!’ Tak terasa basah mata telah melumuri kedua pipiku. Aku menangis.
Semenjak itu hari-hari yang kulalui terasa sepi dan hampa. Semuanya serba hambar. Namun waktu terus berjalan. Tiga tahun telah berlalu, tapi aku tak bisa melupakanmu dengan sepenuhnya.
**

Gerimis senja turun satu persatu. Kemudian deras mengguyur tanah kota. Mengingatkanku pada peristiwa yang telah menimpa Yunda. Dia adalah mawar, bukan nama sebenarnya karena sudah diganti oleh mucikarinya. Supaya tidak seperti orang kampung dan mudah dikenali, katanya.
Setelah menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya menelan pil pahit, bahkan mertuanya sendiri yang sampai tega menjerumuskannya pada jurang kenistaan itu, kini dia terlihat lebih segar dan bugar.
“Aku telah bebas…! Katanya. Walaupun tak dapat kumengerti bahwa sebenarnya dia sudah terjerumus ke dalam jurang yang lebih nista lagi. Tapi bagaimanapun juga dia seakan merasa puas telah bisa melampiaskan segala sakit hatinya itu kepada kedua orang tuanya.
Tiga tahun waktu yang telah ia habiskan bersama suaminya. Selama itu pula pil pahit yang harus ditelan Mawar. Rumah tangganya tidak berjalan mulus seperti apa yang diharapkan oleh  orang tuanya. Bahkan ketika mertuanya sendiri ikut menodai rumah tangganya, semakin bertambah pula penderitaannya. Seorang ayah yang telah memanfaatkan kesempatan pada kesempitan anaknya, ayah mertua yang telah tega memperkosa istri dari anaknya sendiri. Seorang ayah yang telah menjerumuskannya pada seorang mucikari ketika tahu situasi yang telah menimpa kehidupan rumah tangga anaknya diambang pintu kehancuran.
**

Sudah hampir tiga jam aku menunggu di tempat itu, tapi hujan tak reda juga. Lalu aku memandang ke arah langit dan awan hitam masih menggantung menandakan hujan akan cukup lama.
“Menunggu adalah pekerjaan paling menjemukkan yang pernah aku lakukan,” ucapnya. Suara yang tidak asing lagi kudengar. Kemudian aku memandang ke arah suara tersebut.
“Yunda!” pekikku.
“Kau sudah lama berteduh di sini juga?” tanyaku.
“Lumayan. Habisnya kamu melamun saja, jadinya tak menyadari kedatanganku di sini” tembalnya. Lalu ia menghampiriku, dan duduk disampingku. Tak lama kemudian tangannya dimasukannya pada sebuah tas yang dibawanya. Hendak mengambil sesuatu. Ternyata sebungkus rokok. Lalu diambilnya sebatang dan dinyalakannya. Sisanya ia simpan disampingku seakan ingin menawariku.
Tak lama kemudian kulihat asap rokok mengepul dari mulutnya. Seperti yang sudah biasa merokok. Padahal yang kutahu sebelumnya, dia itu adlah seorang perempuan yang anti rokok.
“Sendirian? Ceweknya nggak dibawa?” katanya memecahkan lamunanku yang masih merasa heran dengan sikapnya yang menjadi seorang perokok.
“Apa? Cewek! Maksudmu cewek siapa?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Ah kamu ini bisa saja. Ya cewek siapa lagi kalau bukan cewek kamu,” tembalnya.
“Oh itu…sekarang kan dia lagi duduk disampingku,” aku menggodanya sambil tak sengaja aku menatap matanya. Sesaat dia seakan terhanyut dalam pandangannya yang dalam sekali. Ia memandang wajahku. Tapi tak bertahan lama, dia langsung tertunduk tersipu malu. Terlihat rona merah yang memancar dari wajahnya. Seperti pertama kali aku menembaknya dulu. Dia tersipu malu-malu dengan wajah tertunduk tak berani menatapku. Tapi, ada yang berubah dari sikapnya yang sekarang. Seakan mengingatkannya pada suatu kejadian yang sedang dijalaninya. Tentu saja, dia kan sebelumnya pernah menjalin hubungan denganku. Lima tahun adalah waktu yang bukan sebentar untuk dapat melupakan sebuah kenangan. Kenangan dua orang yang saling mnecintai.
“Yunda…maafkan aku!” aku memecahklan lamunannya.
“Haah…!!”
“Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu,”
“Tidak apa-apa. Mungkin aku saja yang terbawa suasana,” dia langsung menghapus basah matanya. Dia mencoba untuk tersenyum kembali. Walaupun kutahu dalam senyumannya itu tersimpan sebuah luka yang sangat dalam.
“Bagaimana kabar suamimu?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Dia baik-baik saja,” tembalnya.
“Lalu kenapa kau sendirian di sini malam-malam begini? Kemana suamimu? Tak baik lho seorang perempuan yang sudah berkeluarga mesih berkeliaran sendirian di luar rumah sampai larut malam.” Kataku.
“Aku kerja,” katanya singkat.
“Apa! Kerja? Apa aku tidak salah dengar?”
“Benar, aku kerja Andika”
“Bukankah suamimu itu orang kaya. Mana mungkin istri dari seorang direktur terkemuka di sini disuruh bekerja. Apalagi bekerja malam,” aku seperti tak percaya sedikit pun dengan kata-katanya itu.
“Aku sudah cerai,” tembalnya singkat.
“Apa, cerai! Tapi kenapa? Bukankah kalian saling mencintai?” tanyaku penasaran. Kemudian dia langsung manatapku.
“Aku sama sekali tidak pernah mencintainya. Apalagi untuk mencitai laki-laki yang tidak mempunyai tanggung jawab seperti itu,” tempasnya. Sementara aku merasa heran dan iba pada kehidupan yang telah menimpanya. Tidak pernah kubayangkan seperti itu jadinya. Yang kupikirkan dulu tentang dia adalah menjadi istri yang sangat bahagia dari seorang suami yang sangat kaya raya dan sangat mencintainya.
“Maksudmu tanggung jawab bagaimana?”
“Ya, rasa tanggung jawab kepada orang yang dicintainya jika ia benar-benar mencintainya. Tanggung jawab kepada istrinya sendiri yang telah diperkosa oleh ayahnya sendiri” sesaa dia menghentikan kata-katanya. Dan tak lama kulihat butir-butir air mata keluar dari sela-sela juru matanya.
“Bukan malah menuduhku telah menggoda ayahnya yang duda itu. Bahkan dia sampai rela ketika ayahnya telah menjual istrinya sendiri pada seorang mucikari. Apa itu namanya suami yang bertanggung jawab?” tegasnya. Kulihat air matanya yang semakin deras. Telah melumuri kedua pipinya.
“Yunda, maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk…”
“An..dika, aku sudah tak tahan lagi. Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus hidup seperti ini,” lirihnya dengan suara yang parau sedang menahan sakit di hatinya. Dan tak terasa dia telah memelukku dengan eratnya, menumpahkan segala kesedihannya itu kepadaku. Begitu dalam.
“Sabarlah Yunda! Bila mau menangis, menangislah sepuasmu. Keluarkan segala kepedihanmu itu jika itu bisa membuatmu merasa lebih lega!” bisikku lirih. Mencoba untuk membesarkan hatinya.
Dan, malam pun semakin larut. Angin malam menebarkan rasa dinginnya. Menusuk pori-pori kulitku. Tanpa sadar bibirnya telah bersatu dengan bibirku. Lalu perlahan-lahan ia mulai membuka kancing bajunya satu persatu. Seperti sedang tertidur pulas dalam syahwatnya.
“Tidak, Yunda. Jangan lakukan itu!” aku perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“kenapa? Karena aku seorang pelacur?” Ia melepaskan pelukannya. Lalu duduk tertunduk sambil memeluk kedua lututnya yang ia rapatkan di dadanya.
“Bukan, bukan itu maksudku Yunda,” aku memberinya pengertian. Sambil kubelai mesra rambutnya.
“Lalu kenapa?” katanya.
“Aku Cuma tidak bisa melakukannya saja,” jawabku singkat.
“Apa mungkin karena kau sudah mempunyai istri?” sambil menatapku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Lalu kenapa? Apa kamu sudah lupa akan semua kenangan kita dulu, dimana kita bersama-sama menjel;ajahi dunia baru ini. Kendati secara diam-diam. Sampai-sampai kita hapal semua jalan dan tikungan yang ada. Sama halnya seperti kamu yang sudah hapal setiap lekukan yang ada ditubuhku” tak lama kemudian ia mengambil sebatang rokok lagi dari tempatnya. Lalu dinyalakannya. Dihisapnya.
“Tentu saja aku tidak akan pernah melupakan semua itu. Tetapi tidak untuk sekarang!” Ia menatapku.
“Tapi kenapa?”
“Justru karena itu, karena sekarang aku akan segera meminangmu!” ucapku sambil membuang rokok yang baru dihisapnya itu.
“Sebab, cinta itu tak pernah tumbuh di jalan-jalan!” kataku sambil memeluk tubuhnya. Dia pun membalasnya. Erat sekali.***



Related Posts:

  • Cerpen Remaja - Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan Oleh : De Shandy Sepucuk undangan biru kau layangkan kepadaku. Kau ceritakan deritamu. Kau buka tabir gelapmu yang tertulis dari sebagian takdir itu. Tersurat kegetiran yang teram… Read More
  • Cerpen Remaja - Ah...Cinta AH…CINTA! Oleh : De Shandy             Seperti sudah direncanakan, bulan kemarin Titin dan Tresa selesai melangsungkan perenikahan. Sebelumnya, Yanti yang lebih… Read More
  • Cerpen Remaja: Yang Tak Pernah Kumiliki Yang Tak Pernah Kumiliki Oleh : De Shandy Aku tak tahu, entah kenapa gadis yang bernama Ellen itu mau bersahabat denganku yang hanya seorang perempuan sederhana. Padahal Ellen itu adalah anak dari orang yang sangat kaya … Read More

0 comments:

Posting Komentar