This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 20 Desember 2016

Puisi Jalaluddin Rumi - Cinta dan Takut

CINTA DAN TAKUT
By : Jalaluddin Rumi


Sang sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap;
Sang Zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.
Meskipun, bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali,
Namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan 'lima puluh ribu tahun'?
Dalam kehidupan sang Sufi,
Setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Cinta (mahabbah) dan gairah cinta ('isyq) adalah Sifat Tuhan;
Takut adalah sifat hamba nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap;
Dan setiap sayap membentang dari atas syurga
Di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki;
Para pecinta Tuhan terbang lebih cepat daripada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini..
Tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah
Yang menemukan jalan menuju Sang Raja.



Cerpen Remaja - Ah...Cinta

AH…CINTA!
Oleh : De Shandy



            Seperti sudah direncanakan, bulan kemarin Titin dan Tresa selesai melangsungkan perenikahan. Sebelumnya, Yanti yang lebih dulu pergi ke kursi pelaminan. Alhamdulilah, semuanya mendapatkan laki-laki yang cukup kaya. Suami Yanti yang seorang Insyinyur. Begitu pun dengan Titin, suaminya bekerja di salah satu perusahaan besar di Indonesia. Tak hanya itu, Tresa yang sebulan lalu masih menjadi kekasihku, kini bersuamikan salah seorang pejabat pemerintahan di daerahku.
            Walau semua itu baru kabar yang kuterima dari temanku, tapi aku merasa yakin pada berita yang kudengar itu. Sewajarnyalah jika mereka harus dinikahi laki-laki yang berduit seperti keinginan orang-orang tua mereka. Mungkin karena seorang calon menantunya ini yang tidak sejajar dengan derajatnya, menyebabkan aku tidak jadi menikah dengan mereka.
            Hati terasa sakit, bagai ditusuk sembilu. Seperti tak ada yang tahu, apa sebenarnya yang telah menimpaku. Bahkan aku sendiri tak mengerti dengan kejadian yang kualami itu. Kenapa kejadiannya bisa seperti ini? Aku sendiri pun tidak mau seperti ini. Tidak! sebenarnya aku tak menginginkan untuk menyakiti hati perempuan.
            “Kalau begitu, kau itu seorang playboy. Buaya darat!” tembal teman-teman sekerjaku, ketika aku menceritakan percintaanku dengan ketiga perempuan itu.
            “Aku gitu!” tembalku sedikit sombong. Semuanya tak tahu, jika sebenarnya hatiku ini sedang menjerit. Sebab, aku sendiri tak pernah merasa menjadi buaya. Aku tak merasa menjadi orang yang suka mempermainkan perempuan. Pada kenyataannya  akulah yang telah disakiti.
            “Pokoknya, siapa saja perempuan yang ingin menikah dengan lelaki-lelaki kaya  raya,  haruslah berpacaran dulu denganku, semakin besar kualitas cintanya, maka semakin besar pula peluang mendapatkan lelaki hartawan yang diimpikannya!” kataku  sambil meninggalkan mereka. Sungguh aku tak kuat menahan rasa sakit di kepalaku yang mendadak pusing.
            Hati yang terluka ini tak tahu harus kubawa ke mana. Ini semua gara-gara perempuan-perempuan itu yang ternyata matre.
“Sialan!” umpatku.
“Kukira mereka semua sungguh-sungguh mencintaiku, ternyata ada yang diincarnya lagi. Seorang laki-laki yang berada di atasnya dalam segalanya.”
            “Uh, dasar perempuan sialan” makiku. Selebihnya, aku menyamakan bahwa semua perempuan itu tak jauh beda daripada Yanti, Titin dan Tresa yang mata duitan.  Dan dengan perasaan dongkol, akhirnya kulahap juga bakso yang tengah ada di hadapanku itu.
Di kantin di seberang kantorku, sedang asyik menyantap baso tiba-tiba saja mataku menabrak seorang perempuan yang juga sedang makan bakso di depanku. Mulanya kuacuhkan, tapi lama-kelamaan perempuan itu seperti menarik juga. Dengan  wajah bulat telur dan rambut panjang lurus yang tergerai sepunggung, ia mulai  menggoyahkan hatiku.
            “Paling-paling juga nggak jauh beda dengan mereka,” gumamku dibarengi  sebuah senyuman sinis keluar dari bibirku.
Selesai makan bakso, lantas ia pun pergi meninggalkan kantin. Kuikuti  langkah kakinya, ternyata ia masuk ke sebuah kampus tepat berada di depan kantorku. Selesai makan siang, aku segera masuk kerja lagi. Dan kelihatannya jam istirahat pun sudah habis.
            Besoknya, kembali aku pergi ke kantin itu lagi untuk makan siang. Dan memang karena itulah satu-satunya kantin yang paling dekat dengan kantorku. Aku pun kembali bertemu dengan perempuan itu. Mungkin karena merasa ada yang memperhatikannya, dia menoleh kearahku. Dan terlihat sebuah senyuman telah meluncur dari bibirnya yang merah mungil.
            “Bah, senyuman gombal,” bisikku dalam hati. Namun anehnya setiapkali aku mengumpat perempuan itu, setiap itu  pula aku selalu mengingatnya. Bahkan tidak hanya itu, malah aku selalu bertemu dengannya. dan entah kenapa lama–lama hati pun mulai terpaut kepadanya.
            “Sialan,” gumamku.
            Seperti biasa setiap hari bila aku pergi ke kantin, aku selalu bertemu dengan perempuan itu. Kecuali hari minggu, sebab karena mungkin hari libur, dan kantinnya pun tutup. Setiapkali aku bertemu dengannya, ia selalu meluncurkan senyumannya kepadaku, dan senyumannya itu perlahan-lahan mulai meluluhkan hatiku. Dan entah kenapa setiapkali aku pergi ke kantin tidak bertemu dengannya, hatiku berubah risau, gelisah tak menentu. Tapi, begitu dia datang, rasanya dada ini pun merasa plong, apalagi bila ditambah dengan lemparan senyumannya -alamak manis sekali- hati pun berasa sangat bahagia.
            “Ayo, belajar gila ya,”  kata seseorang memecahkan lamunanku.
“Kok, senyum-senyum sendiri?” kata Eko teman sekantorku yang hendak makan siang. Aku meninju bahunya.
            “Sialan, bikin kaget orang saja,” kataku.
            “Kok, ada yang menarik nggak bagi-bagi,” katanya meledekku.
            “Apanya,” tembalku malu-malu.
            “Jangan hanya dipandang, nanti keburu digaet orang, lho!” selorohnya sambil pergi menghampiri ibu kantin untuk memesan makanan.
            “Gila kamu,” kataku.
            Tapi mungkin karena rasa di dalam dadaku ini yang sudah tak tertahankan lagi, akhirnya aku pun menghampirinya juga.
            “Boleh kutahu namanya?” kataku malu-malu sambil kuulurkan tanganku. Perempuan itu pun tersenyum manis sambil menyambut uluran tanganku.
            “Wulandari” katanya ramah.
            “Andi,” jawabku sambil membalas senyumannya itu.
            Selebihnya, setelah kejadian di kantin itu, hubungan kami pun menjadi akrab, dan , ketika cinta sedang menyapaku, aku berusaha untuk menghindar dan menghindar. Namun semakin aku berlari darinya, bayangannya semakin mengejarku, dan aku semakin tak tahan menahan rindu di dalam dada ini. Dengan hati pasrah, kujalani saja kejadian ini. Biarlah semuanya berjalan seperti waktu, aku tak bisa menolaknya.
            “Ah….Cinta, ternyata aku jatuh cinta lagi.”***




Senin, 19 Desember 2016

Puisi Jalaluddin Rumi - Kearifan Cinta

KEARIFAN CINTA
By : Jalaluddin Rumi


Cinta yang dibangkitkan
Oleh khayalan yang salah
Dan tidak pada tempatnya
Bisa saja menghantarkannya
Pada keadaan ekstasi.
Namun kenikmatan itu,
Jelas tidak seperti bercinta dengan kekasih sebenarnya

Kekasih yang sedar akan hadirnya seseorang

Sajak Sunda - Cinta

CINTA
Ku : De Shandy


Jungjunan
Saéstuna rasa nu mana
Rék kaula sumput salindungkeun
Na kanyaah jeung kaasih andika?
Kapan jangji tinulis
Mangsa hiji kapastian
Sagala cinta nu andika
Keur andika
Tan aya pangawasa kula
Keur nogéncang kanu lian

Panutan
Naha cirri nu mana
Geus jadi pamatri nu pasini
Moal cacah ku mangsa carita
Diri nu kasélér-sélér
Nangtukeun tékad lampah diri
Semet dipulas ku curulukna cimata

Cinta kiwari, eulis
Kari mangsi pulas dina ati
Tinggal warna carita rasa
Ukur bisa jadi pamépés sukma
Raga kadar nu katalangsara


Minggu, 18 Desember 2016

Puisi Khalil Gibran - Hapus Air Matamu

HAPUS AIR MATAMU
By : Khalil Gibran


Hapus air matamu
Aku tak ingin kau menangis lagi sayang
Yakinkan hati
Diriku tak akan memilih meninggalkanmu

Sekian waktu bersama
Tak bisa menepis kenyataan
Kita berbeda jalani keyakinan
Tapi kau yang kuinginkan dari segalanya

Setiap rinduku hanya memanggilmu
Ku yakin kaupun mengerti
Ku tak ingin menanggalkan hati
Yang telah satu untuk dirimu

Sayangku dengarkan aku
Takmungkin ku melepasmu
Kan kupertahankan  kau cinta aku
Dan semua air matamu akan berarti dihidupku

Bawalah cintaku bersamamu
Karena kau tetap miliku selamanya
Dan menikahlah denganku
Bahagialah sampai batas waktu tak terhenti
Ku hanya ingin kau jadi istriku
Untukmu satu cinta dihati


Puisi Jalaludin Rumi - Karena Cinta

KARENA CINTA
By : Jalaluddin Rumi


Karena cinta duri menjadi mawar

Karena cinta cuka menjelma anggur segar
Karena cinta keuntungan menjadi mahkota penawar
Karena cinta kemalangan menjelma keberuntungan
Karena cinta rumah penjara tampak bagaikan kedai mawar
Karena cinta tompokan debu kelihatan seperti taman
Karena cinta api yang berkobar-kobar jadi cahaya yang menyenangkan
Karena cinta syaitan berubah menjadi bidadari
Karena cinta batu yang keras menjadi lembut bagaikan mentega
Karena cinta duka menjadi riang gembira
Karena cinta hantu berubah menjadi malaikat
Karena cinta singa tak menakutkan seperti tikus
Karena cinta sakit jadi sihat
Karena cinta amarah berubah menjadi keramah-ramahan



Carpon Sunda - Si Kabayan Jeung Profesor

SI KABAYAN JEUNG PROPESOR
Ku :  De Shandy


Di lembur Bojong Rangkong, kacaritakeun kadatangan hiji propesor ti Amerika nu keur ngayakeun panalungtikan. Éta Propesor téh nyatana jelema nu geus kaceluk ka jamparing angin-angin ka sakabéh nagri ngeunaan kapinteranana nu méh ampir sampurna. Pinter dina sagala widang élmu pangaweruh. Mun ceuk basa légégna mah, ‘eta Propesor téh minangka guruna sakabéh propesor nu aya di ieu dunya. Kituna téh, kapinteran éta propesor geus katara ku urang Bojong Rangkong sorangan nu minangka geus ngajawab kana kabéh pertanyaan nu kungsi ditanyakeun ku urang Bojong Rangkong sorangan, kalayan jawabanana nu nyugemakeun turta bener kabéh.
Tapi orokaya teu kabéh jelema nu aya di lembur Bojong Rangkong sorangan nu panuju kana kaunggulanana éta Propesor. Aya hiji lalaki nu ngarasa cangcaya kana kapinteranana éta Propesor. Taya lian éta lalaki téh ngaranna si Kabayan. Teu lila, kalayan aya niat rék ngetés tur ngadu pangaweruh jeung éta Propesor, nya Si Kabayan terus indit ngajorag éta Propesor  di tempat panalungtikanana.
Di hiji tempat, katara si Propesor nu keur anteng jeung bahan percobaanana. Kalayan keur digimbung ku jalma-jalma di sakurilingeunana nu sasatna ngarasa takjub kana kapinteran éta propesor.
“Sampurasun, tuan Propesor” Si Kabayan unjukkan ka éta Propesor.
“Iya, ada yang bisa saya bantu tuan?”  Tembal éta Propesor.
“Sumuhun tuan Propesor” Si Kabayan bari sok terus ngasrongkeun leungeunna, disusul ku leungeun Propesor. Maranéhna terus sasalaman.
“Ada apa tuan?” Tanya éta Propesor bari sok terus ngaleupaskeun leungeunna.
“Muhun, aya hiji pertanyaan nu rék ditanyakeun ka tuan Propesor”
“Oh begitu ya. Kalo boleh saya tahu, apa pertanyaanmu itu? Katakan saja, pasti saya akan menjawab semua pertanyaanmu itu?” Tembal si Propesor nu pinuh ku kayakinan kana kamampuanana. Kituna, éta Propesor téh nganggap ka si Kabayan ukur jalma kampung nu saeutik pangaweruhna. Tangtu pertanyaanana ogé nu moal sabaraha. Pasti manéhna bisa ngajawab kana éta pertanyaan si Kabayan, pikir éta Propesor.
“Percanten ka tuan Propesor mah,” Ceuk si Kabayan rada nyungkun.
“Ngan saméméhna kuring rék ménta dihampura ka tuan Propesor”
“Memangnya kenapa?” Tanya éta Propesor teu ngarti kana maksud nu diomongkeun ku si Kabayan.
“Sumuhun, saurna tuan Propesor téh jalma nu pangpinterna di ieu dunya. Sasatna mah jalma nu pinuh ku élmu pangaweruh, loba ku panalar, jeung sugih ku pangarti”
“Memang benar. Seluruh dunia sudah mengakui semua itu. Jika kamu masih ragu dengan kepintaranku itu, kamu bisa mengujinya sekarang.” Ceuk si Propesor rada légég.
“Nya ari kitu mah kuring ngiluan sakumaha kahayang tuan Propesor. Ngan saméméhna kuring boga paménta?”
“Apa permintaanmu itu?” Tanya si Propesor.
“Mun dimana-mana tuan Propesor teu bisa ngajawab kana pertanyaan kuring, tuan Propesor kudu ngayakeun duit nu lobana saratus rebu, minangka bayaran teu bisa ngajawab kana pertanyaan kuring”
“Oh tentu. Lagipula pasti saya akan bisa menjawab semua pertanyaanmu itu. Terus kalau kamu sendiri tidak bisa menjawab pertanyaanku, apa yang bisa kamu berikan kepadaku?”
“Kuring bakal mayar tuan Propesor sagede sapuluh rebu. Kumaha? Sarat nu adil lain? Minangka tuan Propesor mah jalma pinter, luhur kuta gede dunya, sigana teu sabaraha lin mikeun duit saratus rebu mah ka kuring nu sasatna jalma bodo, sangsara balangsak, jeung nu pasti mah lain Propesor siga anjeun” ceuk si kabayan rada meuli hate éta si Propesor.
Si propesor saheulanan mikir kana pananjak nu diajukeun ku Sikabayan. Tapi teu lila, si Propesor tuluy nyanggupan kana kahayangna si Kabayan. Si Kabayan katingali ukur mesem barang si Propesor satuju kana panajakna.
“Ari nu jadi pertanyaan kuring mah kieu tuan Propesor,” Ceuk si kabayan ngamimitian nanya.
“Bagaimana, ayo ceritakanlah’
“Jaman baheula, aya hiji Propesor nu rék ngayakeun panalungtikan di hiji pulo di tengah-tengah lautan. Tapi nasibna nu teu marengan. Di tengah-tengah perjalanan, éta parahu nu dipaké ku si Propesor karam keuna kanu batu karang nepi ka tibalikna. Tangtu wé éta Propesor sorangan ti teuleum di tengah-tengah lautan. Pondok carita, éta Propesor kasered-sered ku ombak nepi ka kaperengkeun aya di hiji pulo karang  nu aya di tengah-tengah laut nu satungtung deuleu. Teu katingali aya daratan hiji-hiji acan. Kitu deui tatangkalan euwueuh sarupaeun. Nu aya téh ukur batu-batu karang nu tareruas saampar pulo, euweuh pupurieunana.”
“Terus?” Tanya si Propesor bangun nu panasaran.
“Ari nu jadi pertanyaan kuring mah, kumaha carana éta Propesor sangkan bisa indit ti éta pulo karang?”
“Ah gampang atuh éta mah” Ceuk si Propesor bangun nu yakin kana pijawabeunana.
“Kumaha?” Tanya si Kabayan.
“Tingal telepon saja, minta dilacak dan dijemput ke pulo karang tersebut. Kan sudah ada HP”
“Hehe…” Si Propesor siga nu tuluy bingung ningali tingkah si Kabayan nu sok terus seuserian barang ngadéngé jawaban manéhna.
“Ah, tuan Propesor mah ngalucu waé. Kapan caritana ogé jaman baheula, dimana atuh geus usum HP, telepon kabel ogé can tangtu aya”
Katingali si Propesor nu terus uleng mikir. Rada lila ayeuna mah mikirna téh. Tapi kudu dikumahakeun deui, nya manéhna keukeuh teu manggih pijawabeunana. Nya ahirna éta Propesor nyerah ogé.
“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu” Ceuk si Propesor nu bari terus ngaluarkeun duit sapuluh rébuan sapuluh siki tina jero loketna. Sok terus diasrongkeun ka Si kabayan. Ngan orokaya waé jalma-jalma nu aya disakurilingeunana jadi ngilu mikiran kana éta pertanyaan nu diajukeun ku si Kabayan. Tapi tetep wé lebeng, taya hiji ogé jalma nu bias ngajawabna.
Teu lila si Propesor malik nanya ka si Kabayan, “Nah sekarang giliranku yang bertanya kepadamu, bagaimana caranya si Propesor itu bisa pergi dari pulo karang tersebut?”
Si Kabayan sorangan ukur mesem barang ngadéngé pertanyaan si Propesor.
“Maksudmu…” Tanya si Propesor. Teu lila si Kabayan terus masrahkeun salambar duit sapuluh rebuan ka éta Propesor bari nu salapan lambar deui mah sok tuluy diasupkeun ku manéhna kana jero saku bajuna.
Bari pokna téh, “Tong boro kuring nu sasatna jalma bodo, dalah Propesor gé nu ngaku jalma pangpinterna di ieu dunya teu bisa ngajawabna” Ceuk si kabayan nu tuluy ngingkig balik ti éta tempat. Diiring ku olohokna jalma-jalma nu aya di éta tempat.





Puisi Khalil Gibran - Burung Pipit

BURUNG PIPIT
By : Khalil Gibran


Burung pipit kecilku
Hapuslah rasa curigamu padaku
Walau aku hanya menjadi persingahaan sesaat
Tak akan kutahan kau untuk diam ditempat

Terimakasihku untukmu burung pipit kecilku
Terbanglah bebas kemana kau akan pergi
Temukah teman yang akan menjadi kekasihmu
Kembalilah lagi ke tamanku suatu saat nanti

Aku akan mengobatimu kembali jika kau kembali tersakiti
Terbang dan lupakanlah aku jika kau menemukan cinta sejati
Biarkan aku disini untuk terus berharap dan menanti
Karena aku sangat menyayangi dan mencitaimu tulus murni
Dan tak akan terganti karena kau satu dihati.

Jum'at kelabu
Kunanti dan menunggu
Kepersiapkan hati ini tuk ungkap perasaan ini
Debar jantung ini bermain dan menari

Satu, dua, tiga iam waktu berlalu
Kau yang kudampa tak kunjung berlalu
Ditempat yang telah kita sepakati tuk berjumpa
Pikiranku semakin tak terduga

Akhirnya dari kejauhan kulihat dia
Dengan wajah hampa dia tiba
Mawar merah telah kupersiapkan untuknya
Dan kamipun berbincang bersama

Dan tiba masa untuk ungkap rasa
Dengan hati yang semahkin membahana
Kuungkapkan cinta ini kepadanya
Dengan berharap dia merasa

Dengan memandang wajahnya kuberharap
Tiba waktunya dia berucap
Dengan sabar mencerna makna
Ternya cintaku tak berbalas rasa

Oh tuhan hancur duniaku saat ini
Dengan tersenyum kuterima semua ini
Tapi aku bahagia aku telah mengeluarkan beban hati
Dan akan kucoba kembali untuk membuatnya memparcayai

Dan kuberkata padanya terima kasih untuk rasa ini
Walau cintaku tak berbalas aku telah merasai
Jatuh cinta padamu yang dengan tulus
Tapi aku akan berjuang kembali dan suatu saat nanti
Pasti kau percaya akan cinta yang tulus suci.




Puisi Jalaluddin Rumi - Pernyataan Cinta

PERNYATAAN CINTA
By : Jalaluddin Rumi


Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata,
Kusimpan kasih-Mu dalam dada.
Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu,
Segera saja bagai duri bakarlah aku.
Meskipun aku diam tenang bagai ikan,
Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan
Kau yang telah menutup rapat bibirku,
Tariklah misaiku ke dekat-Mu.
Apakah maksud-Mu?
Mana kutahu?
Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu.
Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu,
Bagai unta memahah biak makanannya,
Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa.
Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara,
Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata.
Aku bagai benih di bawah tanah,
Aku menanti tanda musim semi.
Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi,

Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi.

Puisi Khalil Gibran - Ibu

IBU
By : Khalil Gibran


Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir - bibir manusia.
Dan "Ibuku" merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian,
Manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.
Ibu adalah segalanya.
Ibu adalah penegas kita dilaka lara,
Impian kita dalam rengsa, Rujukan kita di kala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.
Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci Yang senantiasa merestui dan memberkatinya.
Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.
Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam Merebahkannya dalam lentera ombak,
Syahdu tembang beburungan dan sesungaian.
Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan.
Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya.
Pepohonan dan bebungaan adalah ibu yang tulus,
Memelihara bebuahan dan bebijian.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.

Penuh cinta dan kedamaian.

Artikel - Kritik Dan Demokrasi

KRITIK DAN DEMOKRASI
Oleh : De Shandy



Ada sebuah ungkapan, “jangan sekedar mengkritik, tapi berikan solusinya”. Mengingat suatu kritik menjadi momok yang sangat manakutkan. Sebuah ‘penghinaan’ yang acap kali mengganggu jaminan keamanan intelektualitas dan merusak martabat kehormatan sosial seseorang. Kritik menjadikan dirinya sebuah kekuatan untuk menjungkirbalikkan kemapanan, kebulatan, kepuasan dan mengguncang emosionalitas seseorang. Tak heran apabila kritik dianggap semacam serangan yang mesti diwaspadai eksistensinya.
Padahal, apabila dilihat dari asal katanya, kritik yang berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti “yang membedakan”. Atau krites (bahasa Yunani Kuno) yang berarti “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis, pertimbangan nilai, interpretasi atau pengamatan”. Artinya, kritik lebih merupakan sebuah analisa seseorang, sekumpulan orang, institusi, lembaga atau komunitas tertentu mengenai suatu objek.
Objek kajian kritik bersifat universal, hampir bisa masuk ke ranah kategori objek apapun, baik itu seni, sosial, agama, politik, dll. Namun, ada yang perlu digarisbawahi mengenai apapun yang menjadi objek kritik tersebut, bahwa kritik tidak pernah sekalipun masuk ke ranah kelemahan fisik. Kritik merupakan sebuah bentuk komentar terhadap suatu objek agar terjadi progres pada objek lainnya di masa mendatang. Sedangkan kelemahan fisik seseorang bukanlah objek yang bisa dirubah. Jadi, komentar terhadap kekurangan fisik seseorang bukanlah salah satu bentuk kritik melainkan sebuah ‘penghinaan’.
Apabila kita lihat kenyataannya di lapangan, masyarakat kita yang terbiasa mendengarkan komentar-komentar atau caci maki di lingkungan sekitarnya, mulai dari sekumpulan ibu-ibu yang membicarakan kekurangan tetangganya, presenter TV yang menjelek-jelekan saingannya, atau seorang ceramah seorang pemuka agama yang mengutuk agama lain atau bahkan mengutuk saudara seagamanya sendiri yang bermadzab lain misal. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat kita sering menyamaratakan komentar demi sebuah progresivitas (kritik) dengan komentar untuk menjatuhkan (penghinaan).
Kritik merupakan suatu analisa atau pendapat yang berupaya untuk membangun, meluruskan, dan membenarkan suatu objek agar objek tersebut menjadi lebih baik. Seperti yang terdapat dalam bahasa latin ceratio yang berarti ‘mewujudkan’. Dalam hal ini mengandung arti bahwa dalam usaha kritik ternyata ada semacam kreasi, yakni terobosan yang membangun, mewujudkan sesuatu yang baru. Kritik adalah sebuah amanat yang mesti ditunaikan oleh pelaku kritik, sekaligus janji yang semestinya dinantikan oleh objek kritikan. Sebab, disinilah kritik sesungguhnya menampakkan nilainya yang berkeadilan. Dimana kita yang dikritik ada diantara cemas dan puas, sebaliknya kita yang mengkritik pun ada diantara cemas dan puas. Karena, posisi kita sebagai objek kritikan sebenarnya sama dengan kita sebagai subjek.
Sebuah kritik menuntut suatu tanggung jawab, ketajaman, ketekunan, kesabaran, keberanian mempertahankan sikap dalam memihak atau mengambil sikap berbeda. Dimana ia harus mendekonstruksi skeptikanya sendiri secara terus menerus dan pro-aktif, atau membangun skeptikanya secara kokoh dan tak tergoyahkan lagi. Artinya, seorang kritikus disamping aktif sebagai ‘penghancur’ tapi juga harus produktif sebagai pencipta gagasan. Disinilah kritik akan menemukan dirinya yang berkeadilan.
Hal yang senada bisa kita temukan juga dalam bahasa Arab yaitu naqq atau naqqad yang berarti seorang tukang yang memeriksa kepingan-kepingan logam dinar dan dirham, mempelajari campuran emas dan peraknya, serta mengukur kadar dan beratnya. Dalam hal ini menggambarkan bagaimana eksistensi seorang kritikus yang tidak kurang dari profesionalitas naqqad ini. Yakni, kalau saja ia tidak waspada, tidak tegas, tidak jujur, maka si naqqad ini pun akan cepat gulung tikar.
Kehidupan sebuah kritik berbanding lurus dengan adanya wilayah publik (public spere). Wilayah publik adalah suatu wilayah dimana tempat masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai akses yang seutuhnya terhadap semua kegiatan publik. Artinya, bahwa setiap warga negara mempunyai hak asasi manusia di dalam hidupnya untuk bebas menyampaikan pendapatnya, membuat suatu lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Namun ada yang perlu diingat bahwa yang menjadi taruhan di dalam wilayah publik itu bukanlah dari sebuah ‘kekuasaan’ tapi lebih ditekankan pada akal budi (reason). Begitu juga yang menjadi dasarnya, bukanlah suatu ‘kekuasaan’, tapi sebuah ‘kebenaran’. Rasionalitas yang tidak dijadikan sebagai alat dominasi, tapi lebih dijadikan sebagai alat tukar harian.
Dalam hal ini, bahwa untuk menumbuhkan tradisi kritik itu tidak bisa lepas dari tumbuhnya suatu wilayah publik yang bebas (dominasi). Sebaliknya, wilayah publik yang bebas itu bisa tumbuh dan berkembang dari adanya suatu kegiatan kritik sosial yang substantif. Atinya, di dalam kritik itu terdapat suatu “kesadaran” atau “rasionalitas”. Dan kesadaran itulah merupakan salah satu syarat dari suatu masyarakat yang demokratis. ***





Sabtu, 17 Desember 2016

Puisi Indonesia - Pelangi

PELANGI
Oleh : De Shandy


Cinta berkata:
            Mawar putih adalah kis kesucian dan kesetiaan
            Tanpa bentang panjang membatas;
                                                                    Kilau Kemilau

Mungkinkah aku seperti awan tanpa mendung
Atau sebening air di sungai tanpa keruh
Dan sangsi keheningannya?
Tapi kupikir hatiku tak sebaik yang kau mimpikan
Begitu pun aku tak sukadengan hal-hal yang berbau keheningan
Seperti warna putih yang senantiasa kau pikrkan tentang aku
Kupikirkan segala keindahan dengan rupa-rupa warna
Yang selalu berterbangan seperti warna pelangi
Ya, pelangi yang mempunyai sayap-sayap yang indah
Dimana impian bagi anak-anak selepas hujan
Penuh dengan nyanyian-nyanyian lagu-lagu merdu
Atau permainan-permainan anak-anak
Di tengah-tengah lapang desa
Sambil tangan-tangan dan kepalanya menengadah
Berharap keceriaan selalau menaungi mereka
Selebihnya, di sini di hadapan-Mu
Kurindukan sebuah pelangi membentang di matamu


Cerpen Remaja - Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan

Cinta Tak Pernah Tumbuh Di Jalan-jalan
Oleh : De Shandy


Sepucuk undangan biru kau layangkan kepadaku. Kau ceritakan deritamu. Kau buka tabir gelapmu yang tertulis dari sebagian takdir itu. Tersurat kegetiran yang teramat dalam pada dirimu. Bathinmu senantiasa bergerilya melawan gejolak yang tiada tara selalu menaungimu. Dan, kau pun telah tenggelam dalam prahara yang menimpamu. Tapi sadarilah, itu yang terbaik untukmu dan keluargamu. Aku bukan milikmu.
Kecantikan adalah suatu cobaan, sebab cinta itulah yang sempurna. Tapi jangan kau basahi kehidupanmu itu dengan limpahan air mata. Sisakan untuk sebagian kebahagiaanmu. Sandarkan sedikit perasaanmu untuk mengenang kesetiaan. Maka kau akan menang di dalam seluruh ceritamu. Dan itu mengandalkan sebagian perasaanmu.
Mana gadis manja yang kukenal dulu tersenyum manis kepadaku? Berteriaklah, jangan tahan tangismu menjerit bila itu bisa mengurangi sedikit bebanmu. Dulu, kau yang tetap teguh memegang prinsip; hidup bukan untuk diratapi, tapi untuk dinikmati. Mana jiwa cerpenis dan novelismu? Kau yang tetap keras pada semua egomu itu dan menjungjung tinggi nilai-nilai kebebasan. Dimana kita tidak boleh menyerah pada waktu. Mana harga dirimu sebagai seorang penulis? Kemana ambisimu yang ingin menaklukkan dunia dengan cinta? Kenyataannya kau malah tengelam dalam crita cintamu sendiri.
Kehormatan yang setiap kali kau agung-agungkan pada karya-karyamu kini tinggalah sebuah harapan di bawah telapak kakimu sendiri. Haruskah kusebut kau sebagai pecundang? Kau yang tak mampu lagi berargumen, tak ubahnya seorang penakut yang hidup dalam tekanannya. Kau seakan tertidur dalam ceritamu sendiri.
Bangunlah Yunda! Akankah kau terus hidup dalam khayalan dan ilusimu? Lekas bangunlah Yunda! Sebegitu indahkah dunia barumu itu hingga kau lebih memilih untuk tak sadarkan diri? Masih ingatkah engkau pada dunia ini dimana tempat yang membesarkanmu untuk tegar. Bangkitlah yunda! Ingatlah bahwa kehidupan itu adalah suatu proses untuk hidup. Dan hidup bukanlah sesuatu yang kelam. Di situ tersimpan secercah harapan yang akan mengajarimu untuk lebih dewasa. Lalu peluklah harapan itu. Dan hal itu akan berguna bagi dirimu dan orang lain.
Yunda, ayo bangunlah! Apakah kau tidak ingin melanjutkan tulisanmu lagi? Ataukah kau sendiri sudah mulai lupa dengan akhir cerita dari keluarga neraka itu? Tapi baguslah jika sekarang kau sudah insyaf atas dendammu pada bapak mertuamu itu. Itu artinya kau sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu yang baru. Hidupmu telah kembali pada kebebasanmu. Dan kau sudah berhasil membuktikannya pada orang tuamu. Pada sisa sakit hatimu kepada kekuasaan ayahmu.
**

Perih. Sakit hati ini. Dengan langkah pasti aku datiag di pesta perkawinannya.
“Selamat atas pernikahan kalian berdua, semoga bahagia selamanya!” ucapku sambil kujabat tangan mereka berdua. Lalu aku sendiri pergi dengan langkah yang sangat kecewa.
Tak bisa kupungkiri hati kecilku untuk bisa menyalahkan ayahmu. Kusadari bahwa seorang pengarang itu memang tidak akan bisa hidup hanya dengan memakan idealismenya saja. Mereka pastilah membutuhkan yang lain untuk dapat mengganjal perutnya. Dan semua itu bukan sekadar kepuasan bathiniah, tapi ekonomi juga.
Bukankah tak sedikti dari sebagian mereka yang rela melepaskan harga dirinya, menjual kejujurannya demi keuntungannya? Tapi aku bukanlah orang seperti itu. Itu sebabnya penghianatan kedua orang tuamu dimulai. Mereka tidak setuju bila nantinya kau harus hidup dalam dunia ilusi dan khayalan. Karena itu mereka tidak merestui hubungan kita berdua. Alhasil, mereka mulai memperkosa hak-hakmu dan mengatur segala kehidupanmu.
“Maafkan aku Yunda. Aku tak bisa memperjuangkan cintamu. Aku telah gagal dalam mempertahankanmu. Maafkan aku!’ Tak terasa basah mata telah melumuri kedua pipiku. Aku menangis.
Semenjak itu hari-hari yang kulalui terasa sepi dan hampa. Semuanya serba hambar. Namun waktu terus berjalan. Tiga tahun telah berlalu, tapi aku tak bisa melupakanmu dengan sepenuhnya.
**

Gerimis senja turun satu persatu. Kemudian deras mengguyur tanah kota. Mengingatkanku pada peristiwa yang telah menimpa Yunda. Dia adalah mawar, bukan nama sebenarnya karena sudah diganti oleh mucikarinya. Supaya tidak seperti orang kampung dan mudah dikenali, katanya.
Setelah menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya menelan pil pahit, bahkan mertuanya sendiri yang sampai tega menjerumuskannya pada jurang kenistaan itu, kini dia terlihat lebih segar dan bugar.
“Aku telah bebas…! Katanya. Walaupun tak dapat kumengerti bahwa sebenarnya dia sudah terjerumus ke dalam jurang yang lebih nista lagi. Tapi bagaimanapun juga dia seakan merasa puas telah bisa melampiaskan segala sakit hatinya itu kepada kedua orang tuanya.
Tiga tahun waktu yang telah ia habiskan bersama suaminya. Selama itu pula pil pahit yang harus ditelan Mawar. Rumah tangganya tidak berjalan mulus seperti apa yang diharapkan oleh  orang tuanya. Bahkan ketika mertuanya sendiri ikut menodai rumah tangganya, semakin bertambah pula penderitaannya. Seorang ayah yang telah memanfaatkan kesempatan pada kesempitan anaknya, ayah mertua yang telah tega memperkosa istri dari anaknya sendiri. Seorang ayah yang telah menjerumuskannya pada seorang mucikari ketika tahu situasi yang telah menimpa kehidupan rumah tangga anaknya diambang pintu kehancuran.
**

Sudah hampir tiga jam aku menunggu di tempat itu, tapi hujan tak reda juga. Lalu aku memandang ke arah langit dan awan hitam masih menggantung menandakan hujan akan cukup lama.
“Menunggu adalah pekerjaan paling menjemukkan yang pernah aku lakukan,” ucapnya. Suara yang tidak asing lagi kudengar. Kemudian aku memandang ke arah suara tersebut.
“Yunda!” pekikku.
“Kau sudah lama berteduh di sini juga?” tanyaku.
“Lumayan. Habisnya kamu melamun saja, jadinya tak menyadari kedatanganku di sini” tembalnya. Lalu ia menghampiriku, dan duduk disampingku. Tak lama kemudian tangannya dimasukannya pada sebuah tas yang dibawanya. Hendak mengambil sesuatu. Ternyata sebungkus rokok. Lalu diambilnya sebatang dan dinyalakannya. Sisanya ia simpan disampingku seakan ingin menawariku.
Tak lama kemudian kulihat asap rokok mengepul dari mulutnya. Seperti yang sudah biasa merokok. Padahal yang kutahu sebelumnya, dia itu adlah seorang perempuan yang anti rokok.
“Sendirian? Ceweknya nggak dibawa?” katanya memecahkan lamunanku yang masih merasa heran dengan sikapnya yang menjadi seorang perokok.
“Apa? Cewek! Maksudmu cewek siapa?” tanyaku pura-pura tak mengerti.
“Ah kamu ini bisa saja. Ya cewek siapa lagi kalau bukan cewek kamu,” tembalnya.
“Oh itu…sekarang kan dia lagi duduk disampingku,” aku menggodanya sambil tak sengaja aku menatap matanya. Sesaat dia seakan terhanyut dalam pandangannya yang dalam sekali. Ia memandang wajahku. Tapi tak bertahan lama, dia langsung tertunduk tersipu malu. Terlihat rona merah yang memancar dari wajahnya. Seperti pertama kali aku menembaknya dulu. Dia tersipu malu-malu dengan wajah tertunduk tak berani menatapku. Tapi, ada yang berubah dari sikapnya yang sekarang. Seakan mengingatkannya pada suatu kejadian yang sedang dijalaninya. Tentu saja, dia kan sebelumnya pernah menjalin hubungan denganku. Lima tahun adalah waktu yang bukan sebentar untuk dapat melupakan sebuah kenangan. Kenangan dua orang yang saling mnecintai.
“Yunda…maafkan aku!” aku memecahklan lamunannya.
“Haah…!!”
“Aku tidak bermaksud untuk menyinggungmu,”
“Tidak apa-apa. Mungkin aku saja yang terbawa suasana,” dia langsung menghapus basah matanya. Dia mencoba untuk tersenyum kembali. Walaupun kutahu dalam senyumannya itu tersimpan sebuah luka yang sangat dalam.
“Bagaimana kabar suamimu?” aku mengalihkan pembicaraan.
“Dia baik-baik saja,” tembalnya.
“Lalu kenapa kau sendirian di sini malam-malam begini? Kemana suamimu? Tak baik lho seorang perempuan yang sudah berkeluarga mesih berkeliaran sendirian di luar rumah sampai larut malam.” Kataku.
“Aku kerja,” katanya singkat.
“Apa! Kerja? Apa aku tidak salah dengar?”
“Benar, aku kerja Andika”
“Bukankah suamimu itu orang kaya. Mana mungkin istri dari seorang direktur terkemuka di sini disuruh bekerja. Apalagi bekerja malam,” aku seperti tak percaya sedikit pun dengan kata-katanya itu.
“Aku sudah cerai,” tembalnya singkat.
“Apa, cerai! Tapi kenapa? Bukankah kalian saling mencintai?” tanyaku penasaran. Kemudian dia langsung manatapku.
“Aku sama sekali tidak pernah mencintainya. Apalagi untuk mencitai laki-laki yang tidak mempunyai tanggung jawab seperti itu,” tempasnya. Sementara aku merasa heran dan iba pada kehidupan yang telah menimpanya. Tidak pernah kubayangkan seperti itu jadinya. Yang kupikirkan dulu tentang dia adalah menjadi istri yang sangat bahagia dari seorang suami yang sangat kaya raya dan sangat mencintainya.
“Maksudmu tanggung jawab bagaimana?”
“Ya, rasa tanggung jawab kepada orang yang dicintainya jika ia benar-benar mencintainya. Tanggung jawab kepada istrinya sendiri yang telah diperkosa oleh ayahnya sendiri” sesaa dia menghentikan kata-katanya. Dan tak lama kulihat butir-butir air mata keluar dari sela-sela juru matanya.
“Bukan malah menuduhku telah menggoda ayahnya yang duda itu. Bahkan dia sampai rela ketika ayahnya telah menjual istrinya sendiri pada seorang mucikari. Apa itu namanya suami yang bertanggung jawab?” tegasnya. Kulihat air matanya yang semakin deras. Telah melumuri kedua pipinya.
“Yunda, maafkan aku! Aku tidak bermaksud untuk…”
“An..dika, aku sudah tak tahan lagi. Aku sudah tidak tahan lagi untuk terus hidup seperti ini,” lirihnya dengan suara yang parau sedang menahan sakit di hatinya. Dan tak terasa dia telah memelukku dengan eratnya, menumpahkan segala kesedihannya itu kepadaku. Begitu dalam.
“Sabarlah Yunda! Bila mau menangis, menangislah sepuasmu. Keluarkan segala kepedihanmu itu jika itu bisa membuatmu merasa lebih lega!” bisikku lirih. Mencoba untuk membesarkan hatinya.
Dan, malam pun semakin larut. Angin malam menebarkan rasa dinginnya. Menusuk pori-pori kulitku. Tanpa sadar bibirnya telah bersatu dengan bibirku. Lalu perlahan-lahan ia mulai membuka kancing bajunya satu persatu. Seperti sedang tertidur pulas dalam syahwatnya.
“Tidak, Yunda. Jangan lakukan itu!” aku perlahan-lahan melepaskan pelukannya.
“kenapa? Karena aku seorang pelacur?” Ia melepaskan pelukannya. Lalu duduk tertunduk sambil memeluk kedua lututnya yang ia rapatkan di dadanya.
“Bukan, bukan itu maksudku Yunda,” aku memberinya pengertian. Sambil kubelai mesra rambutnya.
“Lalu kenapa?” katanya.
“Aku Cuma tidak bisa melakukannya saja,” jawabku singkat.
“Apa mungkin karena kau sudah mempunyai istri?” sambil menatapku. Aku menggelengkan kepalaku.
“Lalu kenapa? Apa kamu sudah lupa akan semua kenangan kita dulu, dimana kita bersama-sama menjel;ajahi dunia baru ini. Kendati secara diam-diam. Sampai-sampai kita hapal semua jalan dan tikungan yang ada. Sama halnya seperti kamu yang sudah hapal setiap lekukan yang ada ditubuhku” tak lama kemudian ia mengambil sebatang rokok lagi dari tempatnya. Lalu dinyalakannya. Dihisapnya.
“Tentu saja aku tidak akan pernah melupakan semua itu. Tetapi tidak untuk sekarang!” Ia menatapku.
“Tapi kenapa?”
“Justru karena itu, karena sekarang aku akan segera meminangmu!” ucapku sambil membuang rokok yang baru dihisapnya itu.
“Sebab, cinta itu tak pernah tumbuh di jalan-jalan!” kataku sambil memeluk tubuhnya. Dia pun membalasnya. Erat sekali.***



Biografi - Khalil Gibran

                               BIOGRAFI  KHALIL GIBRAN (1883-1931)




Siapa yang tidak kenal dengan nama Khalil Gibran. Dia adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon – Amerika. Gibran Khalil Gibran atau yang lebih dikenal dengan nama Khalil Gibran lahir di Lebanon, pada 6 Januari 1883 dan meninggal di New York City Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun. Khalil Gibran adalah seorang penyair terkenal dengan karya-karyanya yang mencerminkan perpaduan budaya timur dan barat, penuh analogi, disukai berbagai kalangan dan populer di berbagai belahan dunia.
Khalil Gibran lahir dari keluarga miskin di Basyari, sebuah kota kecil di Lebanon Utara.  Keluarganya adalah penganut Katolik Maronit, suatu mazhab yang bernaung di bawah gereja Katolik Roma. Basyari sendiri merupakan daerah yang kerap disinggahi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap fenomena-fenomena alam tersebut. Inilah yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya tentang alam.
Pada tahun 1894 karena kesulitan ekonomi di Lebanon, Gibran bersama keluarganya pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika Serikat. Tak heran bila kemudian Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami oleh para imigran lain yang berhamburan datang ke Amerika Serikat pada akhir abad ke-19. Keceriaan Gibran di bangku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya berlangsung selama tiga tahun karena setelah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit sejak tahun 1899 sampai 1902.
Setelah lulus ia mengembara ke Yunani, Italia, Spanyol dan akhirnya menetap di Paris untuk belajar seni. Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan 2 pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu.
Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya.  Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.
Namun, masa-masa pembentukan diri selama di Paris harus cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, yang mengharuskannya kembali ke Lebanon. Sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya, Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena penyakit TBC. Tak hanya itu, kakaknya  Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal juga karena TBC. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Ia dan adiknya harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Pada tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Kahlil Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan's Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesastraannya yang masih awal.

Khalil Gibran Dan Karyanya
Pada tahun 1908 Khalil Gibran singgah lagi di Paris. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua, namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, ia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, ia mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya. Pada tahun 1911 Kahlil Gibran pindah ke kota New York. Di New York ia bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis.
Kahlil Gibran mulai aktif menulis beberapa artikel yang tersebar di berbagai media massa. Tulisan-tulisannya mampu mencengangkan pengagum sastra dunia, termasuk kritikus sastra Arab terkemuka, May Zaidah. Bermula dari polemik di media massa sejak 1912, ternyata sentuhan cinta keduanya mampu merekatkan jarak Amerika-Arab meski sampai akhir hayatnya, mereka tidak pernah saling bertemu.
Pada tahun 1912 Broken Wings telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya. Pengaruh "Broken Wings" terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama "Broken Wings" ini dipersembahkan untuk Mary Haskell.
Pada tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, "The Madman", "His Parables and Poems". Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam "The Madman". Setelah "The Madman", buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah "Twenty Drawing", 1919; "The Forerunne", 1920; dan "Sang Nabi" pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922.
Sebelum terbitnya "Sang Nabi", hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.
Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca "Sang Nabi". Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran.
Gibran menyelesaikan "Sand and Foam" tahun 1926, dan "Jesus the Son of Man" pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, "Lazarus" pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan "The Earth Gods" pada tahun 1931. Karyanya yang lain "The Wanderer", yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain "The Garden of the Propeth".

Khalil Gibran Meninggal Dunia
Khalil Gibran meninggal dunia pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.
Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.
Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."