AH…CINTA!
Oleh : De Shandy
Seperti sudah direncanakan, bulan kemarin Titin dan Tresa selesai melangsungkan perenikahan. Sebelumnya, Yanti yang lebih dulu pergi ke kursi pelaminan. Alhamdulilah, semuanya mendapatkan laki-laki yang cukup kaya. Suami Yanti yang seorang Insyinyur. Begitu pun dengan Titin, suaminya bekerja di salah satu perusahaan besar di Indonesia. Tak hanya itu, Tresa yang sebulan lalu masih menjadi kekasihku, kini bersuamikan salah seorang pejabat pemerintahan di daerahku.
Walau semua itu baru kabar yang kuterima dari temanku, tapi aku merasa yakin pada berita yang kudengar itu. Sewajarnyalah jika mereka harus dinikahi laki-laki yang berduit seperti keinginan orang-orang tua mereka. Mungkin karena seorang calon menantunya ini yang tidak sejajar dengan derajatnya, menyebabkan aku tidak jadi menikah dengan mereka.
Hati terasa sakit, bagai ditusuk sembilu. Seperti tak ada yang tahu, apa sebenarnya yang telah menimpaku. Bahkan aku sendiri tak mengerti dengan kejadian yang kualami itu. Kenapa kejadiannya bisa seperti ini? Aku sendiri pun tidak mau seperti ini. Tidak! sebenarnya aku tak menginginkan untuk menyakiti hati perempuan.
“Kalau begitu, kau itu seorang playboy. Buaya darat!” tembal teman-teman sekerjaku, ketika aku menceritakan percintaanku dengan ketiga perempuan itu.
“Aku gitu!” tembalku sedikit sombong. Semuanya tak tahu, jika sebenarnya hatiku ini sedang menjerit. Sebab, aku sendiri tak pernah merasa menjadi buaya. Aku tak merasa menjadi orang yang suka mempermainkan perempuan. Pada kenyataannya akulah yang telah disakiti.
“Pokoknya, siapa saja perempuan yang ingin menikah dengan lelaki-lelaki kaya raya, haruslah berpacaran dulu denganku, semakin besar kualitas cintanya, maka semakin besar pula peluang mendapatkan lelaki hartawan yang diimpikannya!” kataku sambil meninggalkan mereka. Sungguh aku tak kuat menahan rasa sakit di kepalaku yang mendadak pusing.
Hati yang terluka ini tak tahu harus kubawa ke mana. Ini semua gara-gara perempuan-perempuan itu yang ternyata matre.
“Sialan!” umpatku.
“Kukira mereka semua sungguh-sungguh mencintaiku, ternyata ada yang diincarnya lagi. Seorang laki-laki yang berada di atasnya dalam segalanya.”
“Uh, dasar perempuan sialan” makiku. Selebihnya, aku menyamakan bahwa semua perempuan itu tak jauh beda daripada Yanti, Titin dan Tresa yang mata duitan. Dan dengan perasaan dongkol, akhirnya kulahap juga bakso yang tengah ada di hadapanku itu.
Di kantin di seberang kantorku, sedang asyik menyantap baso tiba-tiba saja mataku menabrak seorang perempuan yang juga sedang makan bakso di depanku. Mulanya kuacuhkan, tapi lama-kelamaan perempuan itu seperti menarik juga. Dengan wajah bulat telur dan rambut panjang lurus yang tergerai sepunggung, ia mulai menggoyahkan hatiku.
“Paling-paling juga nggak jauh beda dengan mereka,” gumamku dibarengi sebuah senyuman sinis keluar dari bibirku.
Selesai makan bakso, lantas ia pun pergi meninggalkan kantin. Kuikuti langkah kakinya, ternyata ia masuk ke sebuah kampus tepat berada di depan kantorku. Selesai makan siang, aku segera masuk kerja lagi. Dan kelihatannya jam istirahat pun sudah habis.
Besoknya, kembali aku pergi ke kantin itu lagi untuk makan siang. Dan memang karena itulah satu-satunya kantin yang paling dekat dengan kantorku. Aku pun kembali bertemu dengan perempuan itu. Mungkin karena merasa ada yang memperhatikannya, dia menoleh kearahku. Dan terlihat sebuah senyuman telah meluncur dari bibirnya yang merah mungil.
“Bah, senyuman gombal,” bisikku dalam hati. Namun anehnya setiapkali aku mengumpat perempuan itu, setiap itu pula aku selalu mengingatnya. Bahkan tidak hanya itu, malah aku selalu bertemu dengannya. dan entah kenapa lama–lama hati pun mulai terpaut kepadanya.
“Sialan,” gumamku.
Seperti biasa setiap hari bila aku pergi ke kantin, aku selalu bertemu dengan perempuan itu. Kecuali hari minggu, sebab karena mungkin hari libur, dan kantinnya pun tutup. Setiapkali aku bertemu dengannya, ia selalu meluncurkan senyumannya kepadaku, dan senyumannya itu perlahan-lahan mulai meluluhkan hatiku. Dan entah kenapa setiapkali aku pergi ke kantin tidak bertemu dengannya, hatiku berubah risau, gelisah tak menentu. Tapi, begitu dia datang, rasanya dada ini pun merasa plong, apalagi bila ditambah dengan lemparan senyumannya -alamak manis sekali- hati pun berasa sangat bahagia.
“Ayo, belajar gila ya,” kata seseorang memecahkan lamunanku.
“Kok, senyum-senyum sendiri?” kata Eko teman sekantorku yang hendak makan siang. Aku meninju bahunya.
“Sialan, bikin kaget orang saja,” kataku.
“Kok, ada yang menarik nggak bagi-bagi,” katanya meledekku.
“Apanya,” tembalku malu-malu.
“Jangan hanya dipandang, nanti keburu digaet orang, lho!” selorohnya sambil pergi menghampiri ibu kantin untuk memesan makanan.
“Gila kamu,” kataku.
Tapi mungkin karena rasa di dalam dadaku ini yang sudah tak tertahankan lagi, akhirnya aku pun menghampirinya juga.
“Boleh kutahu namanya?” kataku malu-malu sambil kuulurkan tanganku. Perempuan itu pun tersenyum manis sambil menyambut uluran tanganku.
“Wulandari” katanya ramah.
“Andi,” jawabku sambil membalas senyumannya itu.
Selebihnya, setelah kejadian di kantin itu, hubungan kami pun menjadi akrab, dan , ketika cinta sedang menyapaku, aku berusaha untuk menghindar dan menghindar. Namun semakin aku berlari darinya, bayangannya semakin mengejarku, dan aku semakin tak tahan menahan rindu di dalam dada ini. Dengan hati pasrah, kujalani saja kejadian ini. Biarlah semuanya berjalan seperti waktu, aku tak bisa menolaknya.
“Ah….Cinta, ternyata aku jatuh cinta lagi.”***